Perang selalu menimbulkan luka bagi sebuah generasi. Anak-anak tak sempat menikmati masa kecil, tak bisa nyaman menimba ilmu pengetahuan di sekolah. Itu pula yang terjadi di Lebanon setelah serangan Israel sejak 23 September 2024.
---
’’AKU kangen kawan-kawan dan guruku,’’ kata Ali Al Akbar. Ia adalah remaja berkacamata yang berumur 14 tahun.
Ketika diwawancarai Agence France-Presse, 5 Oktober 2024, Ali sedang berada di sekolah di Beirut, Lebanon. Tetapi, ia tidak belajar. Di ruang-ruang kelas, Ali justru kerap meringkuk ketakutan. Terutama saat ada tanda-tanda serangan udara.
Ya, serangan Israel terhadap kelompok Hizbullah di Lebanon sejak 23 September 2024 membuat hidup Ali berantakan. Begitu pula dengan kehidupan warga lainnya.
BACA JUGA:Derita Warga Lebanon yang Dibombardir oleh Israel (1): Seperti Gempa, Tapi Lebih Ngeri
BACA JUGA:25 WNI Dievakuasi dari Lebanon di Tengah Konflik
Betapa tidak, serangan udara tanpa henti membuat pemerintah Lebanon menunda awal tahun ajaran baru. Lebih dari satu juta orang mengungsi. Korban tewas, menurut data pemerintah, mencapai lebih dari 1.100 orang.
Di antara 1,2 juta anak usia sekolah di Lebanon, sebanyak 40 persennya kini jadi pengungsi. Sebagian besar dari 1.200 sekolah negeri berubah menjadi kamp pengungsian.
Sejatinya, pemerintah sudah kembali membuka sekolah. Tetapi, tak semua warga mau melepas anaknya. Termasuk Bataoul Arouni, perempuan umur 37 tahun, ibu Ali. ’’Tak ada seorang pun ibu yang mau anaknya ketinggalan sekolah. Tetapi, tahun ini aku lebih suka Ali di dekatku. Tidak ada tempat yang aman lagi di Lebanon.
BERMAIN BOLA di lapangan sekolah, bocah Beirut ini mencoba bersantai di tengah suasana perang.-AGENCE FRANCE-PRESSE-
Kini, ruang kelas penuh dengan kasur busa tipis. Kursi dan meja didorong ke samping, ke arah dinding. Di dekat jendela, seikat tomat diletakkan di atas meja. Lalu, ada cucian bersih tergantung di papan tulis. Buku-buku dan pena kini digantikan oleh makanan panas dan botol air yang disediakan oleh organisasi amal.
Selama kunjungan AFP, suara ledakan terdengar dari kejauhan. Sementara itu, Fatima, gadis kecil berusia delapan tahun, duduk diam dengan wajah murung. “Aku rindu sekolah dan buku mewarnai,” ujarnya.
Di tengah kota Beirut, Salma Salman yang berusia 30 tahun memeluk erat dua putri kembarnya yang berusia tujuh tahun. Suaranya penuh keputusasaan ketika dia berbicara. “Siapa mau mengirim anak ke sekolah di masa perang ini?’’ rutuknya.
BACA JUGA:Krisis Lebanon: Mengapa Tentara Tak Diterjunkan dalam Pertarungan dengan Israel dan Hizbullah?