HARIAN DISWAY – Aroma teh yang mengepul di pagi hari. Hangat. Menenangkan. Seruputannya yang pelan seolah jadi pelipur lara setelah malam panjang yang dingin. Tapi, bayangkan jika tiap tegukan itu, sebenarnya menyisipkan ancaman diam-diam.
Bukan dari racun, bukan dari zat kimia mencolok, melainkan partikel kecil tak kasat mata: mikroplastik. Itu bukan kisah fiksi ilmiah. Ini nyata. Ledakan informasi terjadi beberapa waktu lalu, bukan di jalanan atau kantor pemerintahan, tapi di media sosial.
Sebuah laporan mengemuka. Bukan dari sembarang lembaga, tapi dari Ecological Observation and Wetlands Conservation—ECOTON, organisasi konservasi lingkungan yang tak asing lagi di kalangan penggiat ekosistem.
Laporan mereka mengungkapkan temuan mengejutkan: lima merek teh celup terkenal di Indonesia mengandung mikroplastik. Bukan cuma satu-dua serat kecil, tapi cukup banyak untuk mengkhawatirkan.
BACA JUGA: Siap Cetak Dokter Gigi Masa Depa, FKG PCU Dilengkapi Fasilitas Canggih dan Kurikulum Inovatif
BACA JUGA: Dosen PCU Komentari #KaburAjaDulu, Wujud Keresahan Anak Muda, Antara Realita dan Harapan
Ong Lu Ki, S.T., Ph.D., dosen program studi Teknologi Pangan UK Petra. --Humas PCU
Partikel-partikel plastik mungil itu—kurang dari 5 milimeter—terdeteksi dalam kantong teh. Ironisnya, bukan karena isi teh-nya, tapi dari bahan kemasan kantongnya sendiri: polimer sintetis seperti Polietilen (PE) dan Nylon. Dan ini bukan cuma soal kemasan.
“Begitu air panas menyentuh kantong teh yang berbahan plastik, lapisan itu bisa langsung melepaskan mikroplastik ke dalam minuman,” jelas Ong Lu Ki dosen Teknologi Pangan dari Universitas Kristen Petra (UK Petra).
Ong Lu Ki bukan akademisi sembarangan. Ia seorang ilmuwan muda, lulusan program doktoral jalur cepat, yang kini aktif meneliti rekayasa pangan dan teknologi ramah lingkungan. Ia menjelaskan dengan tenang, tapi kalimatnya membuat bulu kuduk berdiri.
BACA JUGA: Rayakan Valentine dengan Kreativitas, PCU Gelar Workshop Flower Cookies Decoration
“Partikel ini bisa lolos ke pembuluh darah. Ia kecil, licin, dan nyaris tak terdeteksi. Tapi efek jangka panjangnya bisa sangat merusak,” ujarnya. "Mikroplastik bukan cuma lewat, ia bisa mengacaukan organ vital dan dalam jangka panjang bahkan memicu penyakit autoimun."
Duduk di ruang kerjanya yang sederhana tapi penuh tumpukan jurnal, Ong menyebutnya sebagai ancaman laten yang tersembunyi di balik tradisi. Sebab minum teh bukan sekadar minum. Ia budaya. Ia kehangatan. Ia simbol kekeluargaan. Maka saat kenyamanan itu menyimpan racun diam-diam, wajar jika publik dibuat was-was.
Lantas, merek mana saja yang terkontaminasi? ECOTON tak menyebut secara spesifik. Tapi menurut Ong, prinsipnya sederhana: jika kantong teh tampak mengilap, kaku, atau tidak mudah robek, bisa jadi terbuat dari plastik atau ada lapisan plastiknya. Solusinya? Ada.
“Tinggalkan kantong teh berbahan plastik. Beralihlah ke kemasan alami,” ujarnya tegas. Ia menyebut serat panjang nabati sebagai alternatif, seperti yang biasa digunakan pada kertas pangan food grade.
BACA JUGA: Berbagai Cara PCU Transformasi Gang Dolly, Dari Eks Lokalisasi jadi Sentra Kreatif
BACA JUGA: Kolaborasi Mahasiswa PCU dan SUTD Hadirkan Solusi di Gunung Anyar
Bahkan jika memungkinkan, produsen teh bisa menggunakan bahan pelapis yang dapat dicerna tubuh, seperti kombinasi gelatin dan pati termodifikasi. Inovasi ini memang bukan tanpa biaya.
Tapi Ong percaya, keamanan pangan adalah tanggung jawab yang tak boleh ditawar. Bagi masyarakat yang ingin tetap menyeduh teh tanpa cemas, Ong menyarankan metode klasik yang elegan: gunakan daun teh asli, seduh dalam teko keramik, dan saring dengan stainless steel.
Atau, bagi generasi yang lebih praktis, bisa mencoba bubuk ekstrak teh siap minum, hasil dari proses spray drying atau fresh drying—yang tidak meninggalkan ampas dan tentu saja, tanpa kantong.
Saran Ong seperti mengembalikan kita pada filosofi minum teh yang lebih murni. Menyeduh bukan cuma soal instan. Tapi proses. Kesabaran. Dan kini—kesadaran. "Yang kita minum itu bukan hanya teh. Tapi kesehatan. Maka jangan kompromi," tutupnya.
BACA JUGA: Screening Dokumenter Mahasiswa PCU di CGV Surabaya, Usung Tema Yang Terpinggirkan
BACA JUGA: Makna 7 Simbol pada Botol Minuman Plastik, Pastikan Keamanan Pengguna
Teh, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, mungkin bukan barang mewah. Tapi ia terlalu dekat dengan keseharian, hingga bahayanya mudah terlewat. Jika benar di tiap cangkir ada plastik mikro yang berseliweran, maka sudah saatnya kita bertanya ulang.
Yakni: apa yang sebenarnya kita telan setiap hari? Seruputan yang manis itu mungkin tak seindah dulu. Tapi jika kita bisa lebih cermat dan memilih, teh akan tetap jadi bagian dari budaya yang menyehatkan, bukan menyesatkan. (*)