SURABAYA, HARIAN DISWAY – Dunia seni digital belakangan ini tengah diguncang oleh tren baru: gambar-gambar ala Studio Ghibli yang dihasilkan oleh Artificial Intelligence (AI). Hasilnya menawan, penuh nuansa dan warna khas animasi Jepang—mirip buatan tangan, padahal berasal dari algoritma.
Di balik keindahan ini, muncul kekhawatiran: apakah ini bentuk kemajuan atau kemunduran? Apakah AI sedang membantu atau malah mengambil alih ruang kreatif manusia?
Aristarchus Pranayama, dosen International Program in Digital Media (IPDM) Petra Christian University, punya jawaban tenang di tengah debat yang membara. "Orang-orang terpukau oleh hasilnya, tapi ini hanya fase. Gaya Ghibli sudah sangat kuat dan mapan. AI tidak akan bisa menggantikan esensinya," ujarnya.
Satu klik, hasilnya langsung jadi. AI seperti Midjourney atau DALL-E mampu meniru gaya visual sutradara seperti Hayao Miyazaki.
BACA JUGA: 5 Cara Membuat Foto Ghibli lewat AI ChatGPT
BACA JUGA: C.AI: Antara Teman Virtual dan Bahaya Emosional
Aristarchus Pranayama, dosen International Program in Digital Media atau IPDM Petra Christian University (PCU). --Humas PCU
Mulai dari sapuan kuas awan, rumah kayu klasik, hingga ekspresi melankolis karakter—semua bisa diolah dalam hitungan detik. Tapi, seperti kata Aris, "Itu semua hanya tampilan. Cerita dan jiwa tetap butuh manusia."
Masalah berikutnya datang dari ranah hukum dan etika. Banyak yang khawatir, apakah gambar yang menyerupai Ghibli itu melanggar hak cipta?
“Gaya tidak bisa dipatenkan,” tegas Aris. Ia menekankan bahwa karya besar seperti animasi Ghibli adalah hasil kerja tim, bukan satu orang saja. Oleh karena itu, selama AI tidak mengambil langsung aset visual dari film aslinya, maka tak bisa disebut pelanggaran.
Alih-alih takut, Aris justru melihat potensi AI sebagai alat bantu. Dalam produksi animasi, misalnya, AI bisa mempercepat proses storyboard atau konsep desain awal. “Asal digunakan bijak, ini bisa mempercepat dan meningkatkan efisiensi,” jelasnya.
BACA JUGA: Mengenal Deepfake sebagai Ancaman Digital dan Cara Mengidentifikasinya
BACA JUGA: Mengenang 50 Tahun Microsoft, Dari Jejak Bill Gates hingga Era AI
Namun, ia menegaskan bahwa AI sebaiknya tidak menjadi pengganti kreator. “Kita yang harus mengarahkan AI, bukan sebaliknya,” katanya.
Dengan pengalaman di bidang visual arts dan digital culture, Aris percaya bahwa esensi seni tetap berada di tangan manusia. "AI bisa meniru bentuk, tapi tidak bisa menciptakan emosi. Tidak ada algoritma yang bisa menulis kisah sedalam Spirited Away atau My Neighbor Totoro," tambahnya.
Apakah AI akan mengambil alih dunia kreatif? Mungkin sebagian. Tapi Aris percaya bahwa teknologi ini membuka peluang baru, bukan pintu kehancuran.
“Kuncinya adalah penggunaan yang bertanggung jawab. Kreativitas tetap milik manusia. AI hanya alat untuk memperkaya, bukan menggantikan,” ujarnya menutup. (*)