SURABAYA, HARIAN DISWAY – Sepotong semikonduktor mungkin hanya selebar kuku, tapi revolusi teknologi terjadi berkat kehadiran benda kecil ini.
Mulai dari ponsel, komputer, mobil listrik, hingga satelit—semuanya tak akan berjalan tanpa chip semikonduktor.
Di balik benda kecil itu, tersimpan kekuatan ekonomi global dan pertarungan teknologi antarnegara. Kini, Indonesia mencoba masuk ke arena itu.
Pada Jumat, 15 Mei 2025, kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menjadi saksi penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Arizona State University (ASU) dan ITS.
Momen itu menandai langkah awal Indonesia memperkuat posisinya dalam ekosistem semikonduktor global yang selama ini masih didominasi Amerika, Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan.
BACA JUGA:Mengenal Peace Corps, Voulenteers Kemanusiaan dari Amerika Serikat
BACA JUGA:Peace Corps Kirim 20 Relawan ke 3 Wilayah untuk Pererat Hubungan Indonesia-Amerika
Peserta lokakarya bertema Teknologi Semikonduktor dan Desain IC (Integrated Circuit) di ITS. -Ananda Tiyas Safina-HARIAN DISWAY
Bukan sekadar seremoni, MoU ini membuka jalan bagi riset bersama, pengembangan tenaga kerja, hingga pendidikan yang dirancang khusus untuk mendukung industri semikonduktor.
“Ini awal yang baik. Kita belum punya kemampuan produksi penuh, tapi desain dan testing bisa jadi pijakan awal,” kata Prof Bambang Pramujati, Rektor ITS, sesaat setelah kegiatan usai.
Dalam dua hari ke depan, ITS dan ASU akan menggelar lokakarya bertema Teknologi Semikonduktor dan Desain IC (Integrated Circuit), dibantu penuh oleh International Technology Security and Innovation (ITSI) Fund, sebuah inisiatif dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Menurut Prof Bambang, Indonesia punya mimpi untuk membangun industri semikonduktor. Tapi mimpi saja tak cukup. “Yang kita kurang itu keilmuan dan SDM. Nah, kolaborasi ini bisa jadi jembatan,” tambahnya.
BACA JUGA:Kesepakatan Bersejarah! Uni Eropa dan Amerika Selatan Buka Babak Baru Perdagangan Global
BACA JUGA:PP IKA ITS 2025 Gelar Halal Bihalal, Pererat Silaturahmi, Perluas Jaringan Kerja Sama
Rektor ITS Prof Bambang Pramujati mengatakan bahwa ini merupakan langkah awal Indonesia untuk bersaing di pasar semikonduktor global. -Ananda Tiyas Safina-HARIAN DISWAY
Hadir dalam penandatanganan itu, Konsulat Jenderal AS di Surabaya Christopher Green menegaskan pentingnya kolaborasi teknologi ini.
“Semikonduktor adalah pondasi ekonomi masa depan. Kami ingin membantu Indonesia menyiapkan individu yang bisa bersaing di pasar global,” ujarnya.
Green menyebut kemitraan ini sebagai bagian dari komitmen strategis Amerika Serikat, bukan hanya dalam transfer ilmu, tapi juga memperkuat rantai pasok semikonduktor global yang lebih aman dan tersebar merata.
Saat ini, dunia sedang menghadapi kekhawatiran besar soal ketergantungan terhadap negara tertentu dalam pasokan chip.
Pandemi Covid-19 memperparah krisis itu. Banyak industri otomotif dan elektronik terhenti karena kelangkaan chip.
Maka, negara-negara mulai menyebar pabrik dan desain ke wilayah baru. Indonesia juga dilirik karena kaya bahan mentah dan punya potensi pasar besar. Tapi itu saja tidak cukup.
BACA JUGA:Pakar ITS Soroti Minimnya Anggaran Transportasi Publik di Surabaya
BACA JUGA:ITS Kukuhkan 7 Guru Besar Lagi, Rektor Minta Mereka Aktif Cari Dana Riset dari Luar Negeri
Konjen AS di Surabaya Christopher Green mengungkap bahwa kolaborasi ini adalah upaya agar Indonesia mampu menyiapkan individu yang siap bersaing di pasar semikonduktor global. -Ananda Tiyas Safina-HARIAN DISWAY
“Bahan mentah kita punya. Alat juga ada. Tapi kemampuan untuk membuat jadi produk akhir itu masih minim,” ujar Atong Soekirman, Asisten Deputi Pengembangan Logistik Nasional Kemenko Bidang Perekonomian.
Ia menegaskan pentingnya investasi pada keilmuan, bukan hanya pabrik.
Indonesia harus menyiapkan SDM yang tidak hanya bisa menonton revolusi chip, tapi ikut merancangnya. Langkah awal ini memang belum muluk. Belum ada kabar pabrik chip berdiri dalam waktu dekat.
Tapi desain sirkuit terpadu (IC Design) dan pengujian (testing) adalah fondasi penting. Dan ITS, dengan dukungan ASU, mencoba menjawab tantangan itu dari dunia kampus.
Diskusi lanjutan sudah direncanakan. Kurikulum akan dirancang. Mahasiswa akan dilibatkan.
Dan kampus tidak lagi sekadar tempat belajar, tapi laboratorium masa depan. “Kalau kita tidak mulai dari sekarang, kita akan terus jadi pasar, bukan pemain,” tegas Prof Bambang.(*)