Yang membuat program itu makin menyita perhatian adalah seolah menjadi ”tamparan” bagi dunia pendidikan formal yang dianggap gagal membentuk karakter anak. Banyak sekolah yang terlalu fokus pada nilai akademis, tetapi mengabaikan pembentukan karakter, moral, dan empati sosial.
Dalam realitasnya, anak-anak pintar akademis, tetapi tidak bisa menghormati orang tua atau tidak punya rasa tanggung jawab akan sulit menghadapi tantangan kehidupan.
Program barak militer ala Kang Dedi, walau belum sempurna, bisa menjadi simbol bahwa sudah waktunya pendidikan karakter dikembalikan ke posisi utama dalam sistem pendidikan Indonesia.
Sebagai bangsa yang besar dan majemuk, Indonesia membutuhkan generasi muda yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter kuat, tangguh secara mental, dan beretika. Jika program itu bisa dipadukan dengan pendekatan edukatif yang berempati, bukan tidak mungkin Indonesia akan memiliki anak-anak muda yang punya kepribadian matang sejak usia dini.
Namun, program itu harus terus dikawal agar tidak menyimpang dari tujuan awalnya: membentuk karakter, bukan menciptakan ketakutan.
Program barak militer dari Kang Dedi memang mengguncang Indonesia bukan hanya karena keberaniannya mengusulkan cara baru yang tidak biasa, melainkan juga karena program itu menyentuh inti persoalan yang selama ini luput dari perhatian: lemahnya pendidikan karakter dalam keluarga dan sekolah.
Jika dikelola dengan bijak, dengan pengawasan dan dukungan profesional, program tersebut akan melatih kedisiplinan dan membentuk generasi baru yang lebih kuat menghadapi zaman. (*)
*) Hadi Asrori adalah mahasiswa S-2 linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.