Menengok Barak Militer Ala Dedi Mulyadi dari Sudut Pandang Psikologi Pendidikan

Minggu 08-06-2025,13:16 WIB
Oleh: Arief Rahman Nur Fadhilah*

Sayangnya, lingkungan pengondisian ini bersifat militeristik. Sangat berbeda jauh dari lingkungan siswa sehari-harinya sebagai warga sipil. Meletakan siswa pada lingkungan militer beresiko memberikan trauma. Selain itu, pendekatan yang terlalu disiplin dan otoriter dapat menghambat perkembangan emosional dan sosial siswa, serta melemahkan kemampuan mereka dalam mengambil keputusan secara mandiri.

Hal serupa juga disuarakan oleh KPAI. Dilansir dari Kompas.com, KPAI menyoroti sarana dan prasarana pelatihan tidak sesuai dengan prinsip perlindungan anak. Mereka menghimbau bahwa pola pendidikan dan pelatihan terhadap anak-anak tidak dapat disamakan dengan pelatihan untuk calon prajurit TNI. 

Sebetulnya memang ada kaitannya antara aktivitas fisik dan kebugaran jasmani terhadap siswa. Sebuah penelitian yang dilakukan Donelly dan kawan-kawan pada tahun 2016 menunjukan aktivitas fisik, kebugaran jasmani, dan partisipasi dalam olahraga terbukti memiliki hubungan positif dengan fungsi kognitif anak, terutama fungsi eksekutif (seperti perhatian, memori kerja, dan kontrol diri). Namun, belum tentu apakah efeknya serupa apabila aktivitas fisik dikemas dengan nuansa militeristik.

Perlu diingat juga bahwa pada tahap ini, fase action, tidak boleh menyamakan antara proses merubah perilaku dengan perubahan perilaku itu sendiri. Melihat proses merubah perilaku sebagai tanda keberhasilan program merupakan kesalahan fatal.

BACA JUGA:Hari Pertama Jabat Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi Nonaktifkan Kepsek SMAN 6 Depok yang Langgar Edaran Study Tour

BACA JUGA:Aura Cinta Vs Gubernur Dedi Mulyadi, Dari soal Rumah Digusur hingga Wisuda Dihapus

Menjaga Perubahan Perilaku Siswa

Karena program pembinaan karakter masih berada di fase awal, belum ada data atau lulusan yang dapat diamati secara mendalam. Belum jelas apa dampaknya bagi para siswa yang telah mengikuti program. Dikhawatirkan, siswa hanya menunjukan perubahan selama program berlangsung atau dampaknya bersifat jangka pendek. Tidak sampai ke fase maintenance alias perubahan perilaku bersifat menetap.

Kekhawatiran ini bukannya tanpa sebab. Profesor dari Universiti Science Malaysia, Hairul Anuar Hashim, mengutarakan bahwa dalam penelitiannya pada tahun 2025 tentang  efek aktivitas fisik intens terhadap pelajar obesitas menunjukan adanya penurunan indeks massa tubuh selama tiga bulan masa pengondisian. 

Namun setelah pengondisian dan riset berakhir, pelajar obesitas yang diteliti menunjukan indeks massa tubuh mereka kembali seperti semula setelah satu tahun. Bahkan bagi beberapa pelajar kondisinya menjadi lebih parah. 

Sehingga sangat disarankan agar ada bentuk tindak lanjut bagi para lulusan program ini. Tindak lanjut dapat dilakukan setiap beberapa waktu sekali. Dari sini dapat mengantisipasi munculnya ketidakseimbangan pada perilaku dan kognitif siswa serta memastikan perubahan perilaku tidak hanya tampak dari luar, tetapi merasap ke pikiran mereka.

Selain itu, perlu dilakukan langkah ekstra untuk memastikan tidak ada labeling yang diterima siswa pasca lulus dari program. Jika tidak ada strategi integrasi yang mumpuni, label tersebut akan tetap melekat. Hal ini bisa menghambat pemulihan psikologis dan perkembangan identitas diri remaja yang sehat. Kurang lebih karena merasa dikucilkan oleh teman sebaya dan tidak dipercaya mampu berubah.

Program barak militer bagi siswa bermasalah belum memenuhi prinsip-prinsip perubahan perilaku. Tanpa pendekatan yang mempertimbangkan fase kesiapan individu dan kebutuhan perkembangan remaja, program ini berisiko tidak efektif bahkan kontraproduktif. 

Dibutuhkan asesmen awal serta pendekatan berbasis kebutuhan individu selama program dijalankan. Selain itu, penting untuk melibatkan orang tua, guru, dan tenaga profesional psikologi dalam proses pendampingan siswa selama dan setelah program berlangsung. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendukung yang konsisten dan membantu integrasi perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-hari siswa. 

Terakhir, penggunaan metode evaluasi berkala juga sangat dianjurkan untuk memantau perkembangan dan menyesuaikan intervensi sesuai kebutuhan, sehingga program tidak hanya bersifat remedial tapi juga preventif. 

Intinya, penyelenggara program ini masih harus melakukan berbagai perbaikan. Pertaruhannya tidak tanggung-tanggung, yaitu masa depan siswa. Mengutip slogan salah satu merk minyak angin terkemuka, “Buat anak kok coba-coba?”. (*)

*) Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Airlangga

Kategori :