Mayoritas lahan awalnya berstatus hak guna bangunan (HGB) dari pengembang era 1990-an yang diduga terkait dengan PT Angkasa Pura atau entitas milik Angkatan Udara. Saat HGB habis (20–25 tahun), warga pun mengajukan konversi ke hak milik. Selama bertahun-tahun, tak ada masalah, sampai tiba-tiba muncul bayang-bayang eigendom.
Warga kini kebingungan. Di satu sisi, mereka punya dokumen sah. Di sisi lain, ada klaim yang tak jelas asal-usulnya. ”Kita mau cari kejelasan ke siapa? BPN cuma kasih keterangan ’terindikasi’. Itu bukan putusan pengadilan,” keluh warga lainnya, Rudy.
Tanah eigendom memang masih menjadi sumber konflik agraria di Indonesia hingga kini. Meski Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 sudah menetapkan transisi sistem hukum tanah, banyak eigendom yang tidak dikonversi dalam batas waktu 20 tahun hingga 24 September 1980.
Akibatnya, ribuan bidang tanah di seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar, kini berstatus hukum abu-abu, memicu ketidakpastian dan sengketa berkepanjangan antara ahli waris, warga, dan negara.
Masalah utama bermula dari kelalaian konversi hak. Banyak pemilik atau ahli waris eigendom yang gagal mengurus perubahan status tanah menjadi hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB).
Dokumen yang rentan rusak atau hilang itu justru kerap dimanfaatkan mafia tanah untuk memalsukan kepemilikan. Selain itu, perbedaan mendasar antara sistem hukum Barat dan hukum agraria nasional menciptakan jurang hukum yang sulit dijembatani, terutama saat terjadi sengketa antara klaim historis dan penguasaan fisik oleh warga.
Konflik makin panas ketika penguasaan fisik tanah tidak sejalan dengan klaim yuridis. Di banyak daerah, tanah eigendom dibiarkan telantar selama puluhan tahun, lalu ditempati dan dibangun warga secara turun-temurun. Ketika ahli waris tiba-tiba muncul dengan dokumen lama, benturan tak terhindarkan.
BACA JUGA:Laka di Depan Waduk Unesa, Pemuda Tewas Terlindas Mobil Usai Hantam Traffic Box
BACA JUGA:Kisah Warga Taman Pelangi Menunggu Ganti Rugi Flyover: Rp2,9 Miliar Menggantung di Pengadilan
Warga yang telah hidup puluhan tahun di atas tanah itu merasa hak mereka diabaikan, sedangkan pihak lain mengeklaim berpegang pada dokumen kolonial yang secara hukum masih dianggap sah oleh sebagian putusan pengadilan.
Salah satu kasus paling mencolok terjadi di Dago Elos, Bandung. Keluarga Muller, mengaku ahli waris George Hendrik Muller, mengeklaim 6,3 hektare tanah berdasar verponding tahun 1934. Padahal, ribuan warga telah membangun permukiman di atasnya selama puluhan tahun.
Warga menolak klaim itu dengan argumen bahwa hak eigendom seharusnya hangus karena tak dikonversi sesuai UUPA. Meski Mahkamah Agung pernah memutuskan hak keluarga Muller berakhir, gugatan peninjauan kembali (PK) yang dikabulkan justru memperkeruh suasana, bahkan memicu bentrokan fisik antara warga dan aparat.
Kasus Dago Elos menjadi cermin nyata bagaimana warisan kolonial yang tak terselesaikan bisa berubah jadi bom waktu sosial dan hukum. Di tengah lahan perkotaan yang makin mahal, ketidakjelasan status tanah eigendom bukan hanya soal dokumen tua, melainkan juga soal keadilan, kepastian hukum, dan stabilitas sosial.
Jangan sampai kasus di Dago terulang di Surabaya. Rumah yang dibangun dengan keringat, tempat anak tumbuh, dan keluarga berkumpul kini terancam kehilangan kepastian hukum. Hanya satu yang diinginkan warga Darmo Hill: Kejelasan! (Salman Muhiddin-Agustinus Fransisco)