Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Papa Mama Menghormati Kami yang Terlahir Muslim (41)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung:  Papa Mama Menghormati Kami yang Terlahir Muslim (41)

Rumah besar yang ditinggali Sumi dan Suyatmi dijual setelah kedua ayah dan ibu angkat mereka meninggal dunia.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Umumnya anak adopsi bakal dibaptis di Belanda, mengikuti agama orang tua angkatnya. Mereka juga dapat marga dari sang ayah. Sumi Kasiyo dan Suyatmi dapat marga De Vries. Namun, mereka menghormati Sumi dan kakaknyi yang terlahir muslim.

1980. Setelah beberapa bulan tinggal di Belanda, orang tua angkat Sumi dan Suyatmi membawa mereka ke studio foto untuk dokumen kependudukan dan perubahan nama. 

Nama mereka yang cuma satu kata diubah jadi Pietertje Sumiatin de Vries, dan Margriet Suyatmi de Vries.

Marga itu diambil dari nama ayah angkat mereka: Durk de Vries. Sedangkan ibu baru mereka bernama Pietertje Baukje de Vries.

Sumi sebenarnya kurang suka dengan nama Belanda itu. ”It’s not who I am. So after my adoption parents both passed away (mother 9 December 2008, father 2 Juli 2014), I used Sumi as my name. And Kasiyo is an honour to my Ayah (Itu tak menggambarkan siapa diriku. Jadi, setelah kedua orang tua angkat saya meninggal (ibu 9 Desember 2008, ayah 2 Juli 2014), saya menggunakan Sumi sebagai nama. Dan Kasiyo adalah suatu kehormatan untuk Ayahku,” tulis Sumi dalam pesan WhatsApp, Jumat, 23 September 2022. 

Sang ayah meninggal beberapa saat sebelum drama diadopsi dari Trenggalek ke Belanda itu. Sumi tak mengingat wajah sang ayah. Namun, dia masih merasakan kasih sayangnya ketika masih balita.

Menariknya, Durk dan Pietertje tak pernah membaptiskan dua anak angkatnya itu. ”The reason is that we were from a muslim family and we didn't want to be baptize (Alasannya adalah kami terlahir dari keluarga muslim dan kami tidak mau dibaptis, Red),” kata Sumi. 


Keluarga baru Sumi Kasiyo dan Suyatmi yang semuanya orang Belanda. Ayah baru mereka duduk sebelah kiri.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Orang tuanya menghormati keputusan itu. Agama adalah hak asasi manusia. Mereka sangat paham itu.

They respected that we were born Muslims.

They gave us Dutch name simply because they took precaution for being bullied for our Indonesian names (Mereka menghormati bahwa kami terlahir sebagai muslim. Mereka memberi kami nama Belanda agar kami tidak mendapat perundungan gara-gara nama Indonesia kami, Red),” lanjut anak bungsu dari enam bersaudara itu.

Sumi juga punya nama panggilan: Petra. Yang artinya batu dalam kitab Injil. 

Menurutnyi, ada yang lucu dengan panggilan itu. Dia lahir di Ngruno, Watulimo, Trenggalek. Watu limo berarti lima batu.

Setidaknya nama itu akan selalu mengingatkannyi tentang kampung halaman. Juga, sungai-sungai berbatu di depan rumahnyi dulu. Dia sering ke sana untuk bertualang.

Orang tua angkatnyi adalah sosok yang sangat penyayang. Itu adalah salah satu keberuntungan di pusaran kisah adopsi yang memilukan. 

Sumi tinggal di rumah besar milik papanyi. Halamannya begitu luas dengan hamparan ladang sejauh mata memandang.


Kekasih Sumi, Tim van Wijk menuju rumah besar yang pernah dihuni Sumi Kasiyo dan Suyatmi.-Sumi Kasiyo for Harian Disway-

Keluarga angkatnyi punya peternakan sapi perah. Mereka hidup kecukupan dari usaha itu. ”I think they adopted the wrong child. I don’t like milk. Ha ha ha ha.. (Aku pikir mereka salah mengadopsi anak. Aku tidak suka susu, Red),” canda penulis yang juga fotografer itu.

Itu adalah peternakan besar di Friesland, provinsi utara Belanda, di perdesaan. Satu setengah jam berkendara dari Amsterdam.

Setelah liburan musim panas, Sumi masuk taman kanak-kanak. Dia nge-blank. Tak paham bahasa Belanda. Mereka hanya menguasai sedikit kosakata yang diajarkan di rumah. 

Di hari pertama sekolah, Sumi jadi tontonan. Semua anak menatapnyi. Termasuk para pengajar dan orang tua murid.

Mengapa dia begitu cokelat? Mengapa dia tidak bisa berbicara bahasa kita? Kenapa giginya hitam? 

”Yang terakhir itu karena saya makan banyak tebu dan tidak menyikat gigi. Tidak tahu apa itu sampai saya harus menyikat gigi di pagi dan sore hari dengan ibu saya,” ujar kekasih Tim van Wijk itu.

Sumi memiliki rambut hitam pekat dan semua orang ingin menyentuhnya. Oh, betapa bagusnya warna rambutmu! Dan, mereka menyentuhnya tanpa izin Sumi. Lihat! Anak baru itu sangatlah imut! Begitulah kira-kira perkataan mereka.


Sebelum terbang ke Belanda, ibu angkat beserta adiknyi menjemput Sumi serta Suyatmi di Yayasan Kasih Bunda, Jakarta, 1979.-Dok Sumi Kasiyo-

”Itu adalah saat-saat yang selalu aku benci,” ucap Sumi. Sebelum ke sekolah, dia dan sang kakak sudah melewati begitu banyak trauma. Harus dipindahkan ke empat tempat penampungan anak di berbagai kota. Dari Trenggalek sampai ke Jakarta. Muncul keresahan tiap bertemu orang baru.

Tak hanya di sekolah, Sumi dan Suyatmi jadi pusat perhatian ke mana pun mereka pergi.

Di beberapa titik ketika Sumi lebih tua, teman sebayanyi meneriakkan kata-kata rasis seperti: Negro! Hai, hitam, pulang! Kotoran cokelat dan kata-kata yang lebih menyakitkan. 

Saat itu di Friesland tidak banyak pendatang dari benua lain. Mayoritas kulit putih. Mayoritas dan sangat dominan.

Namun, situasi sudah banyak berubah sekarang. Ada makin banyak pendatang dari negara lain. Belanda lebih berwarna dan  multikultural.

Situasi mungkin lebih baik. Ada luka yang tidak pernah terlihat di tubuh, tetapi itu lebih menyakitkan dari apa pun yang berdarah. (Salman Muhiddin)

Mulai Depresi di Tahun 1990. BACA BESOK!



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: