Untag Surabaya Gelar Diskusi Menjaga Toleransi, Menggali Bijak Bestari

Untag Surabaya Gelar Diskusi Menjaga Toleransi, Menggali Bijak Bestari

Peserta diskusi ilmiah di Universitas 17 Agustus Surabaya menyanyikan Lagu Indonesia Raya sebelum memulai acara.-Nadine Churnia Putri-

SURABAYA, HARIAN DISWAY- DALAM satu teritorial yang punya banyak kepercayaan dan suku, bangsa Indonesia terbingkai dalam kemajemukan. Hal tersebut disadari jadi bahasan yang harus terus digaungkan sebagai pengingat agar tongkat estafet persatuan terus terawat.

Apalagi, perpecahan dirasa menjadi hal yang riskan terjadi yang akan timbul di kehidupan sosial masyarakat. Kemarin siang pembahasan itu diwujudkan dalam diskusi ilmiah yang diselenggarakan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Roemah Bhinneka. 

Acara tersebut bertajuk Menggali Mutiara Bijak Bestari untuk Memperkokoh Persatuan Bangsa. Gagasan-gagasan dari para tokoh pun kembali disentuh untuk melihat konsep berbangsa dari lintas sektor.

”Kualitas seseorang bukan dinilai dari agama atau suku. Atau bahkan titel dan pendidikannya. Namun, nilai toleransi dan kemanusiaan yang mesti ditonjolkan,” ujar Ketua Dewan Pembina Islam Nusantara Foundation (INF) Said Aqil Siroj saat membuka diskusi ilmiah kemarin.

Ia merumuskan bagaimana manusia seharusnya berhubungan dengan sesama dan alam semesta. Nilai-nilai tersebut juga telah dicontohkan para leluhur dalam aspek toleransi.

Mantan ketua umum PBNU itu mengatakan, setiap manusia sebenarnya punya nurani yang seharusnya bisa dikendalikan. Mengerti baik atau buruk. Dengan dilandasi spiritualitas, demokrasi dan agama akan selaras.

”Kita ini sudah ngerti sebenarnya amanah itu baik atau korupsi itu jahat. Jadi, kita tidak usah banyak bertanya ke kiai, romo, atau pendeta. Tanyakan pada dirimu sendiri, pada moralitas sendiri,” tegasnya.

Apalagi, generasi muda yang akhir-akhir ini menjadi sorotan karena tindakannya yang tak bertanggung jawab. Hal tersebut dinilai karena nilai-nilai luhur yang makin terkikis oleh perkembangan zaman. 

Untuk itu, ia ingin semua pihak bisa memberikan atensi lebih kepada mereka. ”Harus ada benteng dari serangan budaya luar, misalnya. Lama-lama generasi muda ini tidak bangga dengan Pancasila. Benteng-benteng itu dari ajaran toleransi dan suarakan dengan masif,” kata lelaki yang akrab disapa Buya Said itu.

Sementara itu, Ketua Umum Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) TGB H M. Zainul Majdi menyebutkan, agama sering kali dipakai sebagai alat yang kerap menimbulkan perpecahan. Apalagi, menjelang tahun politik. Menurutnya, nilai-nilai mulia spiritual harus dibawa dan tidak untuk kepentingan mendapatkan kekuasaan.

”Agama paling sering dizalimi. Dalam arti dimanfaatkan. Dipakai namanya untuk satu tujuan yang sifatnya sangat jangka pendek. Padahal, tidak boleh kita mereduksi kemuliaan agama hanya pada kontestasi-kontestasi politik,” ujarnya.

Kesadaran akan keberagaman memang sesuatu yang suci dalam manusia, khususnya di Indonesia. Ia menegaskan bahwa sesuatu yang sudah ada dan diajarkan oleh orang terdahulu bukan berarti tidak perlu dijaga.

Upaya-upaya seperti yang dilaksanakan Roemah Bhinneka, kata TGB, membuat perjumpaan antaranak bangsa dari berbagai komponen untuk bicara tentang persatuan, kerukunan, dan kebersamaan. 

”Perlu kita perbanyak acara diskusi ini, itu memang kebutuhan bangsa kita,” imbuhnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: