Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya : Pemkot Juga Terbitkan Surat Putih (13)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya : Pemkot Juga Terbitkan Surat Putih (13)

Pejuang Surat Ijo mengibarkan bendera Indonesia di depan Kantor DPRD Surabaya Juni 2021.-Eko Suswantoro/Harian Disway-

Tanah surat ijo terpecah jadi dua: yakni resmi dan tidak. Yang resmi sudah mendapatkan izin pemakaian tanah (IPT) sementara yang belum mendapat surat putih.


Banner Surat Ijo-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Surat putih merupakan surat pethok dari pemkot yang diberikan ke warga yang terkena relokasi di tempat barunya. Mereka hanya berkewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Tidak bayar retribusi. “Oleh karena itu mereka enggan untuk mendaftarkan tanahnya menjadi IPT. ” tulis Sukaryanto dalam bukunya Reforma Agraria Setengah Hati (181).

Ia mencontohkan relokasi 1968 di Gunungsari ke Dukuh Kupang Barat. Jika penghuni tidak mendaftarkan persilnya sebagai IPT, maka surat putih tetap dipakai. 

Sampai 2014 jumlah tanah surat putih mencapai 42 persen dari 14,2 juta meter persegi yang ditempati warga. Atau setara 5.980.963,47 meter persegi 

Pemkot berusaha menerbitkan izin pemakaian tanah (IPT) agar retribusi bisa dibayar. Sementara warga tidak mau menempuh jalur itu. Mereka bayar pajak plus retribusi jika mendaftarkan tanahnya ke Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Surabaya.

Tanah yang mereka tempati berasal dari HPL yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN serta bekas tanah eigendom.

Kini pejuang surat ijo berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman retribusi itu. Mereka menuntut tegaknya landreform sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Yakni redistribusi tanah negara ke tangan rakyat. 

Bekas tanah hak barat itu bisa dikembalikan pemkot ke negara. Negara akan menyerahkannya ke penghuni yang menempati lebih dari 20 tahun.

Yang sudah terlanjur membayar IPT, tetap bisa mendapatkan redistribusi tanah itu. Sebab SK HPL yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN mencangkup wilayah yang sangat luas. Misalnya di SK HPL 53/1997 di Gubeng dan SK HPL 55/1997 di Perak Barat. 

Jika pemkot mengembalikan SK itu ke negara, maka warga penghuni di dalamnya bisa merdeka. Mereka bisa menyertifikatkannya ke BPN. “Selama ini warga tidak bisa mengurus sertifikat. Diblokir sama BPN,” ujar Ketua KPSIS Hariyono. 

Lambat laun warga mulai menemukan banyak kejanggalan pada penerbitan surat ijo. Langkah pejuang surat ijo juga sudah sangat jauh. Problem yang menyangkut 48.200 persil tanah di Surabaya itu bahkan sudah didengar Presiden Joko Widodo. Kini penyelesaiannya ditangani Kementerian ATR/BPN (Salman Muhiddin)

 

Perlawanan Setelah Orde Baru, BACA BESOK!

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: