Penjurian Brawijaya Award (34): Melihat Lebih Dekat Pendekar-Pendekar Hebat

Penjurian Brawijaya Award (34): Melihat Lebih Dekat Pendekar-Pendekar Hebat

Wadud, penyandang tuna netra yang menjadi binaan komunitas Info Seputar Blega yang digaagas oleh Serda Ahmad Saiful Bahri. -Moch Sahirol Layeli-

Semakin jauh perjalanan penjurian kami, semakin kami melihat hal-hal yang luar biasa yang dilakukan personel TNI-AD. Khususnya mereka yang menjadi bintara pembina desa (Babinsa). Tuntutan sebagai tentara serba bisa pun mereka lakoni setiap hari.

Bagaimana mereka makan? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup? Seperti apa mereka melakukan semua aktivitas? Pertanyaan itu muncul dalam otakku ketika melihat tiga bersaudara yang tinggal bersama di dalam satu rumah di Dusun Sumur Pandan, Desa Kampao, Kecamatan Blega. Tidak ada yang sehat dari mereka. 

Semuanya sakit. Itu pun sakitnya sudah bertahun-tahun. Anak yang paling tua yang tinggal di rumah itu buta. Ia anak ketiga dari lima bersaudara. Adiknya nomor empat mengalami gangguan jiwa. Adik bungsunya tidak bisa berdiri lagi. Lemas. Sekitar 10 tahun terakhir hanya bisa tidur. 

Badannya sangat kurus. Hanya terkesan kulit pembungkus tulang. Semua aktivitas dilakukan di atas ranjang yang terbuat dari bambu. Mereka tinggal di rumah warisan kedua orang tua mereka. Sementara, dua kakak mereka kini berada di luar pulau Madura. 

Beberapa kali komunitas Info Seputar Blega (ISB) membantu ketiganya. Termasuk merenovasi rumah yang mereka tempati. Juga memberikan bantuan bahan makanan untuk mereka makan setiap hari. Semua bantuan itu didapat dari donasi beberapa orang. Komunitas itu bentukan Serda Ahmad Saiful Bahri.

Saya sempat berbincang dengan Wadud. Ialah pria yang tak bisa melihat itu. Beberapa pertanyaan saya layangkan kepadanya. Termasuk, pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran saya. Namun, saya sangat berhati-hati memberikan pertanyaan kepadanya. Saya tidak mau melukai hatinya.

Walau saya sempat bertanya kenapa ia sampai tidak bisa melihat. Itu juga saya yakin sudah menyinggung perasaannya. Karena harus menggores luka lama. Tapi, mau gimana lagi. Saya harus tanyakan untuk melengkapi tulisan saya. Tapi, bukan tulisan saya yang ini. 

“Selama ini saya hidup dibantu dengan tetangga-tetangga saya. Termasuk bantuan dari bapak babinsa ini,” ucap Wadud. 

Saya tidak kuat melihat kondisi tersebut. Saya pun meminta untuk secepatnya pergi dari tempat itu. Bukan karena saya tidak betah. Tapi, saya tidak kuat menahan tangis. Melihat mereka, saya langsung mengucap syukur. Saya sangat beruntung ketimbang mereka. Ini bukan sinetron FTV. Ini kisah nyata.

Pun saya beberapa kali melihat Mayor Inf Prasetyo Edi Tunggal mengusap matanya. Tapi saya tidak berani bertanya: apakah ia nangis atau tidak. Atau hanya kelilipan binatang kecil. Ini benar-benar takut. Sebab, badannya lebih besar dari saya: tinggi dan besar. Hahahaha

BACA JUGA:Penjurian Lapangan Brawijaya Award (33): Ular Menyelinap di Dalam Mobil Kodim

Perjalanan kami lanjutkan. Namun, sebelum berangkat, kami diminta singgah ke markas Koramil 0829/09 Blega. Komandan Koramil 0829/09 Blega Kapten Chb Muhammad Tohari yang meminta kami singgah. Makan nasi goreng yang sangat lezat di sana.

Di sana, kami mencoba menerapkan sistem makan ala tentara. Makan cepat lalu berangkat tanpa harus menunggu nasi turun. Kami harus mengejar dua babinsa di Sampang. Beruntung Blega sudah di perbatasan Bangkalan-Sampang.

Kami langsung bertemu dengan Pasi Ter Kodim 0828/Sampang Kapten Inf Darminto. Kami pun langsung diantar ke Koramil 0828/12 Robatal. Setiba kami di sana, langsung disambut dengan kesenian bela diri lokal. Mereka pun menunjukkan keahliannya dalam bela diri. Serma Eko Suryadi yang membina mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: