Menyikapi Kehadiran Perguruan Tinggi Asing

Menyikapi Kehadiran Perguruan Tinggi Asing

Ilustrasi perguruan tinggi di Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pada 2022, mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri mencapai 53.604 orang. Data UNESCO Institute of Statistics menunjukkan, negara yang paling diminati mahasiswa asal Indonesia adalah Australia, Malaysia, dan AS.

BACA JUGA:Upaya Perguruan Tinggi Mengejar WCU

Alasan

Pemerintah memiliki alasan membuka pintu akses PT asing masuk dan beroperasi ke Indonesia. Alasan itu merujuk pada tren warga RI berkuliah di negara tetangga, yakni Malaysia, ternyata memilih PT yang berasal dari negara lain.

Puluhan ribu mahasiswa Indonesia ternyata memilih PT dari negara lain yang buka kampus di Malaysia. Pilihan serupa terjadi di Singapura. Karena alasan itu, pemerintah berpikir untuk mengizinkan PT asing membuka cabang di Indonesia. 

Masyarakat dapat bebas mengakses kuliah di kampus ternama tanpa harus menguras kocek lebih dalam pergi ke negara tetangga. Kalau alasannya begitu, pendidikan tinggi dikaitkan dengan uang. RI tak akan kehilangan devisa dari warganya yang pergi ke luar negeri untuk kuliah.

Selain alasan uang agar devisa tak lari ke negara lain, pembukaan kampus asing bakal menjadi tantangan bagi PT lokal untuk mawas diri. Kampus lokal tak boleh tertinggal dan selalu berupaya meningkatkan mutu secara berkelanjutan. Peningkatan mutu PT adalah harga mati. 

Namun, PT lokal, terutama swasta (PTS), tentu menghadapi tantangan lebih berat. Selama ini pasar calon mahasiswa baru PTS tergerus PTN lewat jalur mandiri. Persaingan tambah ketat meski pemerintah berharap agar kehadiran PT asing tak disikapi sebagai pesaing atau kompetitor.

Pemerintah semestinya berempati terhadap keberlangsungan PT lokal dengan segala pertimbangan. PT lokal, terutama PTS, telah memberikan kontribusi besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan yang telah diselenggarakan dalam kurun waktu lama. 

Karena itu, keberadaan PTS tak dapat diabaikan dan harus terus mendapat pembinaan serta perhatian pemerintah dengan saksama. PT asing yang beroperasi di Indonesia harus diatur sedemikian rupa. Misalnya, harus berkolaborasi dengan PT lokal atau aturan mengikat lainnya. 

Pemerintah tak cukup mewajibkan PT asing menyelenggarakan program untuk jenjang pascasarjana (magister/S-2 dan doktor/S-3). Harus ditegaskan secara eksplisit agar PT asing tak membuka program sarjana (S-1), kecuali untuk jurusan langka dan dibutuhkan. Kepentingan nasional harus diutamakan.

WSU yang akan beroperasi di Surabaya membuka lima jurusan program S-1 (bachelor). Jurusan tersebut adalah ilmu komputer, data science, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), engineering, dan bisnis. TIK dan bisnis ada banyak di kampus lokal sehingga perlu ditinjau ulang pembukaannya di kampus asing.

Regulasi juga harus menyentuh biaya pendidikan. Pemerintah harus membuat regulasi mencegah agar biaya kuliah PT asing tak menghancurkan daya saing PT lokal. Di WSU, biaya pendidikan diperkirakan mencapai 10 ribu dolar Australia (Rp 100 jutaan). Namun, belum ada perincian biaya untuk per semester atau per tahun.

Daya tampung mahasiswa baru pun juga perlu diatur ketat tak mengganggu PT lokal. WSU, misalnya, dalam tahap pertama akan menerima 1.000 mahasiswa. Pada tahun selanjutnya direncanakan meningkat lagi menjadi 1.700 sampai 2.000 mahasiswa. 

Jumlah itu sangat besar. Mengingat, ada PT lokal dengan jumlah mahasiswa baru hanya do-re-mi alias dalam hitungan sebelah jari. PT asing tak diatur ketat. Jika tidak, PT lokal, khususnya PTS, bakal lebih merana. Bagaimana Anda menyikapinya? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: