Pemahaman Budaya untuk Penguatan Kesehatan Ibu dan Anak (1): Dampak Budaya Patriarki

Pemahaman Budaya untuk Penguatan Kesehatan Ibu dan Anak (1): Dampak Budaya Patriarki

ILUSTRASI pemahaman budaya yang tepat dapat menguatkan kesehatan ibu dan anak. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Menjaga Bahasa, Menjaga Budaya: Refleksi Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional

Penelitian yang dilakukan Yulfira Media (2017) menunjukan bahwa rata-rata perempuan yang hamil pada usia sangat muda baru memeriksakan kehamilan saat memasuki bulan ke-4 atau ke-5. Hal tersebut tentu saja meningkatkan risiko kematian bayi.

Secara umum, pasangan usia belia juga minim pengetahuan mengenai risiko/bahaya persalinan. Mereka kadang tidak menyadari bahwa harus memilih pertolongan persalinan yang profesional. 

Bagi mereka yang tinggal di perdesaan dengan fasilitas kesehatan yang jauh, bidan desa yang jauh, pertolongan persalinan sebagian dilakukan oleh dukun beranak. Pengetahuan dukun beranak dalam menangani persalinan risiko tinggi –misalnya, bayi sungsang– biasanya sangat minim. 

BACA JUGA: Menjaga Warisan Budaya Tak Benda

Banyak perempuan dan/atau bayi yang mereka kandung pada akhirnya mengalami kematian lantaran terlambat dibawa ke dokter setelah gagal ditangani dukun beranak.

Budaya patriarki bisa berdampak positif, bisa pula negatif. Bagi perempuan di perdesaan dengan kepatuhan mutlak kepada suami, keputusan untuk memeriksakan kesehatan bisa pula berada di tangan suami. 

Hal tersebut akan menguntungkan manakala tingkat pendidikan suami cukup tinggi sehingga memahami risiko kesehatan istri mereka. Dengan demikian, suami memiliki inisiatif mendorong istri untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. 

Penelitian Rodiyatun dkk (2018) mengenai pengaruh budaya patriarki terhadap keteraturan pemeriksaan ibu hamil (antenatal care/ANC) di Bangkalan menunjukkan hal positif. 

Berdasar data yang diolah, keteraturan untuk menjalani pemeriksaan bagi ibu hamil mencapai 83,78 persen, sedangkan yang tidak teratur melakukan pemeriksaan hanya 16,22 persen. Dalam kasus ini, budaya patriarki menguntungkan bagi ibu hamil di Bangkalan. 

Hal yang sama terjadi di Mesuji, Lampung. Yakni, budaya patriarki ternyata berkorelasi positif terhadap pemeriksaan ibu hamil (Candra Irawati dkk, 2021).

Selain pada kasus ibu hamil, budaya patriarki memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi kesehatan perempuan dan anak di masa pandemi. Saat ini kondisi perempuan –terutama yang berposisi sebagai ibu– memiliki beban ganda, yaitu beban domestik seperti pengasuhan anak, perawatan rumah, penyediaan fasilitas sehari-hari, dan beban mendampingi anak dalam belajar. 

Di sanalah peran dan pengertian para suami sangat dibutuhkan. Budaya patriarki justru harus diarahkan untuk kebaikan ibu dan anak, bukan sebaliknya. Suami harus proaktif mendorong istri dan anak-anak mereka untuk aktif menjalani pemeriksaan di pusat kesehatan. (*) 

 


Purnawan Basundoro, guru besar dan dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: