Gula Swatata
ILUSTRASI gula swatata.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA: Konsumsi Gula, Garam, Lemak dan Ancaman Penyakit Tidak Menular
BACA JUGA: Kebotakan? Jangan Khawatir, Gula Alami bawa Harapan Baru
Namun, pandangan itu benar menurut mazhab ekonomi kapitalistik. Yang menganggap bahwa ekonomi berjalan dalam hukum persediaan dan permintaan. Supply and demand. Ekonomi bergantung sepenuhnya pada mekanisme pasar.
Tapi, mazhab ekonomi lain tak menganggap hal itu benar. Tidak bisa ekonomi masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tidak mungkin pasar mengatur diri sendiri. Atau, disebut pasar swatata.
Dalam hal ini, (mohon maaf) saya berbeda dengan Pak Dahlan. Saya bukan penganut pasar bebas. Tapi, penganut jalan tengah. Seperti halnya penilaian mantan menteri BUMN itu saat memberikan kesan tentang saya.
Jika dalam khazanah ekonomi politik ada paham kapitalisme dan sosialisme, saya tidak condong keduanya. Sistem kapitalistik yang liberal memang telah menjadi kenyataan sosial. Berlaku di berbagai belahan dunia.
Tapi, apakah sistem itu telah menyelesaikan masalah masyarakat dunia? Tidak sepenuhnya. Ada banyak problem menyertainya. Eksploitasi alam, perdagangan manusia, dan ketimpangan yang menganga.
Karena itu, kapitalisme berbasis pasar bebas harus ditanamkan kembali. Itu bahasanya Karl Polanyi. Seorang antropolog kelahiran Hungaria yang mengajukan cara jalan tengah pada abad ke-19. Ketika paham kapitalisme dan sosialisme bertarung keras.
Ia berbeda dengan Karl Marx, bapak sosialisme dunia. Yang dengan yakin menganggap sistem kapitalisme akan hancur akibat perlawanan kelas buruh terhadap majikannya. Pandangan yang tentu saja sama ilusinya dengan mereka yang menganggap pasar akan mengatur diri sendiri.
Dalam konsep jalan tengah Karl Polanyi –yang kemudian saya ikuti– kapitalisme harus ditanamkan kembali. Biar tidak tercerabut dari akar sosial masyarakatnya. Nah, dalam menanamkan kembali itu, negara bisa hadir. Melalui regulasi atau aturan dan sebagainya.
Belakangan, paham itu lebih maju lagi. Salah seorang ilmuwan dari London, Mariana Mazzucato, manawarkan tafsir yang lebih maju daripada Polanyi. Negara tidak sekadar hadir. Tapi, harus memiliki peran inovatif. Tidak hanya menjadi pembenah kegagalan pasar (market fixer). Tapi, juga harus menjadi pencipta dan pembentuk pasar (market shaper).
Rasanya pandangan itu lebih cocok untuk negara yang belum sepenuhnya sejahtera seperti kita. Yang masih ada ketimpangan menganga. Masih ada kelompok rentan yang harus dilindungi dan diangkat. Misalnya, petani yang sejak lama tak terlalu mendapat perhatian.
Petani tebu salah satunya. Makanya, transformasi kelembagaan BUMN gula yang menjalankan amanah negara untuk mewujudkan swasembada gula tak bisa mengabaikan mereka. Apalagi, kenyataannya selama ini petanilah menjadi pemasok tebu utama pabrik gula yang ada.
Dalam struktur sosio-ekonomi yang seperti itu, menyerahkan ekonomi gula kepada pasar swatata justru tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab, jika kelompok tersebut disingkirkan, bisa dipastikan mereka akan menjadi kumpulan pasar yang tak mampu menyerap komoditas yang pernah diproduksinya.
Industri pergulaan nasional yang sejak sebelum kemerdekaan RI terus merosot tak hanya bisa dibenahi melalui pembenahan tata kelola industri gula. Tapi, juga perlu berangkat dari paham yang benar dalam menyusun kebijakan. Bukan berbasis paham pasar bebas yang menjadi ”peta jalan” paham kapitalisme yang liberal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: pt sinergi gula nusantara (sgn)