Pralaya Sritex, Alarm Bahaya Industri Manufaktur Indonesia?

Pralaya Sritex, Alarm Bahaya Industri Manufaktur Indonesia?

ILUSTRASI Pralaya Sritex, alarm bahaya industri manufaktur Indonesia?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Penurunan daya saing dipengaruhi beberapa faktor. Mulai masalah upah pekerja yang tinggi hingga penerapan teknologi industri di Indonesia yang kurang memadai. Akibatnya, pekerjaan menjadi kurang efisien dan akhirnya memiliki biaya produksi yang mahal. 

Secara benchmarking, Indonesia jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Vietnam. Penggunaan teknologi di industri di Vietnam atau Tiongkok membuat ongkos produksi produk tekstil menjadi lebih murah ketimbang di Indonesia. 

Berdasar riset yang dilakukan International Textile Manufacturing Federation (ITMF) tentang total production cost (TPT) di beberapa negara produsen dan pengekspor tahun 2021, India mengungguli hampir semua negara dengan biaya produksi terendah dari sisi bahan baku dan upah. 

Vietnam unggul sebagai negara dengan biaya terendah untuk komponen biaya energi dan bunga modal. Pakistan dan Bangladesh unggul dalam hal biaya upah yang rendah. 

Sementara itu, industri tekstil dalam negeri menghadapi tekanan biaya tinggi dan ketergantungan tinggi pada bahan baku impor. Juga, kurangnya penggunaan modal dengan teknologi tinggi. 

Amat tepat sebagaimana dalam tesisnya, Michael Porter menegaskan, rivalitas antar perusahaan-perusahaan yang sudah ada dalam industri, ancaman dari pendatang baru, ancaman dari produk substitusi, daya tawar dari pemasok, dan daya tawar dari pelanggan merupakan senjata ampuh untuk mengeliminasi kompetitor keluar dari pasar.” (Competitive Strategy:  Techniques for Analyzing Industries and Competitors, 1980)

Di sisi lain, berdasar catatan Bank Indonesia (BI), kinerja industri pengolahan atau manufaktur mengalami pelemahan pada kuartal keempat 2023. Tercatat Prompt Manufacturing Index Bank Indonesia (PMI-BI) sebesar 51,20 persen atau lebih rendah dari 52,93 persen pada kuartal sebelumnya. 

Kinerja lapangan usaha masih berada pada fase ekspansi karena indeks lebih dari 50 persen. Meski demikian, pailitnya Sritex seakan membenarkan bahwa terdapat masalah serius di sektor industri manufaktur kita.

URGENSI KEBERPIHAKAN

Pada kondisi demikian, sangat urgen pemerintah mengambil langkah strategis bersifat inward looking dalam melakukan mitigasi terhadap membanjirnya produk-produk impor barang sejenis dengan beberapa pendekatan ketimbang mencari kambing hitam. 

Pertama, merilis paket kebijakan bersifat tax incentive untuk menstimulasi pelaku industri untuk memproduksi barang lebih murah agar bisa bersaing di pasar. 

Kedua, membangun ekosistem ekspor. Ekosistem ekspor itu mempertemukan agregator dan pelaku industri berorientasi ekspor yang didukung lembaga pembiayaan ekspor, termasuk business matching antara agregator dan pelaku industri tersebut. 

Ketiga, menyediakan capacity building yang terkait pengembangan kapasitas dan kemampuan ekspor produk andalan. Itu disertai dengan pendampingan dan memfasilitasi pendampingan standardisasi produk ekspor seperti sertifikasi baku mutu, sertifikasi eco-labelling, ISO, dan product branding

Keempat, memfasilitasi buyer mapping dan market intelligence untuk produk andalan. 

Kelima, kolaborasi perluasan pasar dengan memanfaatkan jaringan diaspora Indonesia yang menjadi agregator. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: