Pralaya Sritex, Alarm Bahaya Industri Manufaktur Indonesia?
ILUSTRASI Pralaya Sritex, alarm bahaya industri manufaktur Indonesia?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Kunjungi Sritex, Gibran Ingin Selesaikan Tumpang Tindih Aturan Untuk Permudah Industri
BACA JUGA:Pameran Manufaktur Dibuka di Surabaya, Hadirkan berbagai Program dan Produk Inovatif
SENJA KALA IKON INDUSTRI MANUFAKTUR
Keberadaan Sritex seolah menjadi ikon kemajuan industri manufaktur padat karya yang mengalami masa keemasan di zamannya. Di era kejayaannya, Sritex pernah memproduksi seragam militer untuk setidaknya 30 negara di dunia.
Dari jumlah itu, delapan di antara negara-negara tersebut adalah negara di kawasan Eropa. Sritex bahkan memproduksi seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Selain itu, Sritex merupakan satu-satunya pemegang lisensi di Asia yang berhak memproduksi seragam militer Jerman. Pada masa puncaknya, Sritex berhasil membukukan laba bersih mencapai USD 68 juta atau setara Rp 936 miliar.
Setahun setelahnya atau pada 2018, labanya bahkan melesat menjadi USD 84,56 juta. Perusahaan pun masih mencetak kenaikan laba pada 2019, menjadi USD 87 juta.
Sayang, kinerja Sritex mulai melemah pada 2020, saat perekonomian kolaps dihantam badai pandemi Covid-19. Dalam kondisi sulit pun, Sritex masih mampu mencetak laba USD 85,32 juta. Secara berangsur-angsur, neraca keuangan Sritex memburuk sejak 2021 dengan kerugian mencapai USD 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun rupiah (asumsi kurs Rp 14.500 per USD).
Kerugian Sritex makin berlanjut memburuk pada 2022 dan 2023. Hantaman pandemi tidak hanya mengganggu sektor rantai pasok, tetapi juga memicu penurunan permintaan pasar domestik dan global.
Penjualan Sritex pada 2021 tercatat turun 33,93 persen jika dibandingkan dengan 2021, menjadi USD 847,52 juta. Di sisi lain, beban pokok perusahaan justru naik dari USD 1,05 miliar menjadi USD 1,22 miliar.
Ada pula beban penjualan, administrasi, rugi selisih kurs, hingga cadangan kerugian penurunan nilai piutang dan cadangan kerugian penghapusan persediaan yang membebani neraca Sritex. Rugi dalam jumlah besar pada 2021 membuat ekuitas Sritex minus USD 398,81 juta atau setara Rp 5,77 triliun.
Perusahaan tekstil itu pun mengalami beberapa gugatan PKPU sejak 2021. Sahamnya juga disuspensi otoritas pasar modal sejak Mei 2021 dan bahkan terancam delisting. Kerugian yang terjadi sejak 2021 membuat minus ekuitas Sritex makin besar, mencapai USD 954,82 juta atau Rp 14,56 triliun pada 2023.
Adapun total liabilitas perusahaan tekstil itu mencapai USD 1,6 miliar atau setara Rp 24,4 triliun. Sebagian besar utang tersebut berasal dari utang bank dan obligasi, termasuk secured working capital revolver (WCR) sebesar USD373,6 juta, secured term loan (STL) USD 472,8 juta, dan unsecured term loan (UTL) USD 480,7 juta.
Di saat yang bersamaan, serbuan produk impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari Tiongkok yang harganya jauh lebih murah yang masuk ke pasar Indonesia kian menggiring pabrik yang ada di Jawa Tengah itu memasuki masa temaram.
Selain disebabkan penurunan daya saing industri dalam negeri yang ditandai dengan membanjirnya produk tekstil asal Tiongkok di dalam negeri, juga lemahnya industri yang berbasis labour intensive melakukan adaptasi terhadap masifnya faktor disrupsi pada industri mesin manufaktur yang makin efisien.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: