Merapat Senja, Robin Block dan Angelina Enny Buka Sejarah Peranakan Era Kolonial

Merapat Senja, Robin Block dan Angelina Enny Buka Sejarah Peranakan Era Kolonial

Enny Angelina (Kiri) bersama Robin Block membahas karya terbaru mereka di Merapat Senja, Wisma Jerman. -Dinar Mahkota Parameswari-HARIAN DISWAY

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Wisma Jerman dan IFI Surabaya kembali menggelar ajang Merapat Senja pada 24 November 2024. Menghadirkan dua penulis: Robin Block dan Angelina Enny. Acara itu berlangsung di Wisma Jerman, Jalan Taman AIS Nasution, Surabaya.

Lewat buku In Between & Di Antara, keduanya memaparkan kejadian masa lalu saat masa penjajahan dari sudut pandang yang berbeda.

Robin merupakan seorang penulis keturunan Indonesia yang berkebangsaan Belanda. Jejak keluarganya ada di beberapa wilayah Jawa Timur. "Kakek saya dulu tinggal di Jalan Kemiri. Tak jauh dari sini. Cukup jalan kaki 5 menit" ujarnya.

Sedangkan neneknya berasal dari Mojokerto. Sebagai seorang peranakan, Robin ingin menunjukan sisi sejarah yang berbeda. Ia menulis buku In Between & Di Antara bersama Enny.

Enny pun tertarik dengan tema-tema peranakan. Keduanya memiliki pengalaman yang selaras sebagai seorang peranakan. Bedanya, Enny merupakan campuran antara kakeknya yang seorang Tionghoa dan neneknya yang orang Indonesia.

BACA JUGA:Gelar Pameran Lukisan Art for Nature, ACI dan Wisma Jerman Kolaborasikan Seni dan Lingkungan untuk Masa Depan Hijau

BACA JUGA:Peringati Hari Aksara Internasional, Puri Aksara Rajapatni & Wisma Jerman Lestarikan Penulisan Aksara Jawa


Diskusi Merapat Senja membahas In Between & Di Antara karya Enny Angelina dan Robin Block. -Dinar Mahkota Parameswari-HARIAN DISWAY

"Buku karya kami mengangkat bagaimana susahnya hidup di Indonesia sebagai peranakan. Dulu, peranakan berada di antara kelas sosial atas dan bawah. Sehingga keluarga kami mendapat perlakuan diskriminatif dari kedua pihak ras dari kedua kakek-nenek kami," ungkapnya.

Sering kali kisah-kisah tersebut tidak diangkat ke publik. Padahal menurut Robin, sejarah-sejarah kecil itu bisa memberikan prespektif baru. Enny juga menambahkan beberapa perlakuan diskriminatif itu sering membuat peranakan di Indonesia membentuk kelas baru.

"Misalnya saja para Indo (sebutan peranakan Belanda-Pribumi). Mereka membuat klub-klub khusus untuk peranakan agar membedakan kelas mereka dan pribumi," lanjutnya. Mereka kerap memanfaatkan hak Belanda ayahnya dan hak ke-nyai-an Ibunya untuk mendapatkan keuntungan, seperti membeli atau menguasai tanah.

Kedua penulis melakukan riset mendalam demi mendapatkan data yang otentik. Robin memperoleh fakta bahwa dulu peranakan Belanda-Jawa sangat ingin terlihat kebarat-baratan. Mereka sampai tidak mau menggunakan bahasa ibu dan memilih bahasa ayah untuk mengobrol sehari-hari.

BACA JUGA:Wisma Jerman Gelar East Side Gallery Meets Surabaya: Pameran Seni Terinspirasi Mural di Tembok Berlin

BACA JUGA:Wisma Jerman Hubungkan Manfaat Pembelajaran Bahasa Jerman dan Budaya dalam Lanskap Globalisasi Masa Kini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: