Pengajuan Hak Kekayaan Intelektual Meningkat, DJKI Dorong Komersialisasi

Pengajuan Hak Kekayaan Intelektual Meningkat, DJKI Dorong Komersialisasi

Kepala Sub Direktorat Kekayaan Intelektual dan Promosi Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT) Universitas Indonesia (UI) Krisnayanto-UI-

HARIAN DISWAY - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum Republik Indonesia menerima peningkatan permohonan Kekayaan Intelektual sebanyak 15,8% atau 347.338 sepanjang tahun 2024.

Salah satu penghasil kekayaan intelektual (KI) terbanyak di Indonesia adalah perguruan tinggi. KI dalam bentuk paten misalnya, sebanyak 60% permohonan dalam negeri berasal dari para akademisi atau peneliti dari universitas. 

Peningkatan jumlah permohonan ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi KI yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian. Akan tetapi, masih terdapat banyak KI yang dihasilkan berhenti sampai tahap sertifikasi saja. 

Menurut Kepala Sub Direktorat Kekayaan Intelektual dan Promosi Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi (DIRBT) Universitas Indonesia (UI) Krisnayanto, universitas merupakan hulu dari KI. Hak KI berfungsi sebagai pelindung dari produk-produk hasil riset dan inovasi yang dihasilkan oleh para peneliti.

BACA JUGA:Wamenekraf Ajak Para Konten Kreator Surabaya Untuk Peduli Pada Hak Kekayaan Intelektual

“KI tidak boleh hanya berhenti di kertas saja, tetapi harus ada hilirisasi (pemanfaatan) yang menimbulkan dampak baik secara ekonomi maupun dampak secara sosial,” tutur Krisna dalam wawancara di Gedung Science Techno Park, Universitas Indonesia, Rabu, 8 Januari 2025.

Krisna menjelaskan, perguruan tinggi sebagai penghasil inovasi dan produk kekayaan intelektual lainnya seharusnya mempunyai ekosistem inovasi yang berdampak bagi masyarakat baik secara komersil dan/atau sosial. 


Produk inovasi UI Microcapiler Digital -UI-

Lebih lanjut, Krisna menjelaskan saat ini pihaknya menerapkan manajemen inovasi UI yang berbasis pada demand pull, kebutuhan pasar menjadi prioritas dalam pengembangan inovasi. Pihaknya melakukan pendekatan dengan melakukan riset kebutuhan pasar baik dari industri, pemerintah maupun masyarakat sebagai hulu dari manajemen KI.

Sementara itu untuk hilirisasi, UI memiliki tiga percabangan, yang pertama disebut dengan komersialisasi, yaitu hilirisasi KI yang dilisensikan kepada industri. Selanjutnya, hilirisasi yang kedua adalah hilirisasi lisensi ki yang digunakan oleh startup. Untuk mengelola ini, UI juga memiliki bisnis inkubator yang diberi nama UI Incubate. Kemudian yang ketiga adalah hilirisasi kepada masyarakat.

BACA JUGA:Kemenkumham Jatim Perkuat Peran Daerah dalam Peningkatan Pelayanan Kekayaan Intelektual

“Teknologi hasil riset para inovator UI ini dapat digunakan oleh masyarakat. Hilirisasi ini untuk dihitung dampak sosialnya, jadi seluruh riset yang belum dihilirisasi secara komersil akan kami alihkan pada hilirisasi sosial. Selanjutnya kami akan hitung social return on invesmentnya (SROI)-nya, jadi kita akan menghitung dampaknya secara tidak langsung kepada masyarakat,” terang Krisna.

Dengan menerapkan sistem tersebut, saat ini UI memiliki ekosistem KI yang telah memberikan dampak nyata, salah satunya royalti yang didapatkan dari hilirisasi produk-produk KI yang dihasilkan oleh para peneliti di lingkungan UI. 

“Hingga tahun 2024, royalti yang kami hasilkan dari hilirisasi produk KI sekitar Rp600 juta hingga Rp700 juta, salah satunya dari memberikan lisensi kepada industri. Royalti ini akan dibagi menjadi 70% untuk peneliti dan 30% untuk UI,” ujar Krisna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: