Bunuh karena Cemburu

Bunuh karena Cemburu

ILUSTRASI membunuh karena cemburu. Pelaku membunuh selingkuhan istrinya di Kalideres, Jakarta Barat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Perbedaan reaksi antara suami di Timur dan Barat itu sering jadi diskusi kriminologi-sosiologi. Kejahatan pembunuhan yang terkait budaya masyarakat, tempat pelaku dan korban bermukim.

Richard E. Nisbett dan Dov Cohen dalam buku mereka, bertajuk Culture of Honor: The Psychology of Violence in the South (1996), membahas perbedaan reaksi tersebut. Tapi, di buku itu tidak disebutkan suami Timur dan Barat. Melainkan, orang Amerika Selatan dan Amerika Utara. Orang Amerika Selatan mirip orang Timur, Amerika Utara mirip orang Barat.

Nisbett dan Cohen menyebutnya sebagai budaya kehormatan. Itulah yang dianut mayoritas masyarakat Amerika Selatan. Dengan begitu, di Amerika Serikat (AS) orang Selatan dianggap lebih kejam jika dibandingkan dengan orang Utara. Lebih banyak pembunuhan yang dilakukan oleh orang kulit putih di Selatan daripada di Utara. 

Disebutkan: ”Budaya kehormatan adalah alasan yang mendasari kekerasan itu. Kecenderungan untuk melakukan kekerasan adalah hasil dari budaya kehormatan, di mana reputasi seorang pria adalah kunci bagi kelangsungan hidupnya.”

Budaya kehormatan menyangkut etika perlindungan diri dan kepemilikan senjata yang meluas. Itu berkontribusi pada siklus kekerasan di mana pertengkaran mengarah pada pembalasan yang mematikan; menghubungkan budaya kulit putih selatan dengan budaya ghetto perkotaan, yang keduanya mendorong respons kekerasan terhadap penghinaan yang dirasakan.

Perselingkuhan istri dianggap para suami di Amerika Selatan sebagai penghinaan. Pria selingkuhan istri dianggap menghina suami si istri. Jika tidak dibalas suami, si suami akan dipandang rendah oleh masyarakat. Sebab, budaya kehormatan berlaku di sana.

Kesimpulannya, dalam budaya di mana kehormatan pria sangat dijunjung tinggi, ada kecenderungan lebih besar untuk melampiaskan kemarahan kepada pria lain yang dianggap mengganggu kehormatan rumah tangga.

Hal itu mirip di Indonesia. Mirip yang dilakukan Sopian terhadap Feriani. Saat istri berselingkuh, bukannya istri yang diserang, melainkan pria selingkuhan istri. Padahal, perselingkuhan tidak mungkin terjadi jika istri tidak mau.

Tapi, sikap para suami Indonesia itu tidak berarti melindungi istri yang selingkuh, untuk kemudian dimaafkan, tidak. Umumnya, setelah sumi menyerang pria selingkuhan istrinya, kemudian dilanjutkan menyerang istrinya. Atau, setidaknya menceraikan istrinya. 

Di kasus Sopian, pembunuhan terhadap Feriani itu sekaligus tindakan perpisahan antara Sopian dan istri. Sopian dijerat Pasal 340, ancaman maksimal hukuman mati. Minimal biasanya 20 tahun penjara. Itu berarti, dipastikan ia sudah berpisah dengan istri.

Meski kasus demikian sangat banyak, masyarakat tidak juga belajar dari kejadian tersebut. Buktinya, perselingkuhan demikian marak. Padahal, pernikahan sudah dikaruniai anak, seperti pada Sopian. Mengapa harus diduakan? Mengapa tidak bercerai saja? (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: