UMKM Tangguh, Pilar Kemandirian Ekonomi Alternatif di Era Perang Tarif

ILUSTRASI UMKM Tangguh, Pilar Kemandirian Ekonomi Alternatif di Era Perang Tarif.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Thrifting: Memukul atau Memikul UMKM
BACA JUGA:Digitalisasi UMKM dan Ancaman Resesi Global
Tak dimungkiri, mereka pernah memiliki pengalaman yang hampir mirip dengan kondisi krisis ekonomi 1998 dan 2008. Kendati ujian cukup berat, sektor itu mampu survive di tengah badai, bahkan tetap mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 61,07 persen PDB (Kemenko Perekonomian, 2023).
Hingga 2022, jumlah UMKM yang sudah mendaftarkan bisnisnya di platform Online Single Submission (OSS) sudah mencapai 8,71 juta unit dari total keseluruhan 121,7 juta UMKM. Kementerian Koperasi dan UMKM juga akan menargetkan setidaknya ada 10 juta unit UMKM yang teregistrasi dalam sistem OSS di akhir tahun 2023.
Data itu akan terus mengalami pembaruan seiring dengan kenaikan jumlah UMKM yang mendaftar di OSS. Pertanyaannya, mampukah UMKM bertahan di tengah kuatnya tekanan pelemahan ekonomi global akibat perang dagang AS-Tiongkok?
KEBERPIHAKAN
Tidak hanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi karena mampu menyerap ratusan juta tenaga kerja setiap tahun, UMKM juga berperan penting dalam mengentaskan angka kemiskinan.
UMKM juga terbukti mampu meningkatkan derajat hidup kaum marginal dan menekan angka urbanisasi sehingga mereka tidak perlu hijrah ke kota-kota besar untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Menghadapi perubahan parameter ekonomi global yang amat cepat di kancah perang tarif AS versus Tiongkok, hal itu berimbas pada Indonesia yang selama ini menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sektor perdagangan.
Dampaknya tidak bisa diabaikan, terutama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang ekspor.
Situasi makin kompleks dengan dikobarkannya kebijakan decoupling (pemisahan rantai pasok) AS melawan Tiongkok yang memaksa banyak perusahaan multinasional memindahkan basis produksi ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Meski membuka peluang investasi, itu justru memberikan tekanan kepada UMKM lokal yang harus bersaing dengan perusahaan besar berteknologi tinggi. Di saat yang sama, fluktuasi nilai tukar rupiah dan kenaikan harga energi global turut mereduksi posisi strategis UMKM.
Ketidakpastian tarif akibat perang tarif resiprokal akan mendisrupsi kesinambungan rantai pasok bahan baku seperti benang, komponen elektronik, dan kemasan yang sebelumnya diimpor dari Tiongkok kini terkerek lebih mahal akibat kenaikan biaya logistik dan penundaan pengiriman.
Perubahan pola konsumen pasar ekspor tradisional seperti AS dan Eropa mulai mengurangi impor produk non-esensial akibat inflasi dan resesi, sementara pasar alternatif (Timur Tengah dan Afrika) belum sepenuhnya terjamah oleh UMKM Indonesia.
Itulah yang menjadi peluang sekaligus tantangan UMKM untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, karena keterbatasan jangkauan dan network, kehadiran pemerintah untuk memperkuat penetrasi UMKM ke pasar alternatif menjadi aspek yang sangat diperlukan. Terdapat sejumlah pendekatan yang mungkin bisa dipertimbangkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: