Membingkai Kartini, Potret, Kekuasaan, dan Representasi Perempuan

Membingkai Kartini, Potret, Kekuasaan, dan Representasi Perempuan

ILUSTRASI Membingkai Kartini, Potret, Kekuasaan, dan Representasi Perempuan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

”The way we see things is affected by what we know or what we believe.” 

–John Berger, Ways of Seeing (1972)–

CARA kita melihat tidak pernah sepenuhnya netral. Apa yang tampak di depan mata kita selalu dipengaruhi pengetahuan, keyakinan, dan kekuasaan yang melatarbelakanginya. Dalam konteks kolonial, citra visual seperti potret berperan penting dalam membentuk wacana tentang siapa yang layak dilihat, bagaimana ia harus dilihat, dan untuk kepentingan siapa ia dipertontonkan.

Fotografi mulai hadir di Hindia Belanda pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, bersamaan dengan berkembangnya teknologi kamera dan proyek kolonialisme Eropa. Kamera tidak hanya menjadi alat dokumentasi, tapi juga perangkat ideologis untuk mengontrol cara pandang terhadap koloni dan penduduknya. 

BACA JUGA:Makna Emansipasi dan Peran Kartini Menurut Gen Z, Masihkah Penting?

BACA JUGA:Peringati Hari Kartini, Dharma Wanita Kantor Imigrasi Malang Gelar Beauty Talkshow

Fotografi kolonial menghasilkan ribuan potret yang menampilkan penduduk pribumi dalam pose yang dikurasi –sering kali dengan pakaian adat, ekspresi datar, atau sikap tubuh tertentu– untuk memberikan kesan eksotis, ”jinak”, dan ”beradab” sesuai narasi Barat. Itulah yang disebut sebagai colonial gaze.

Dalam lanskap itulah potret Kartini hadir. Dia bukan pengecualian dari sistem tersebut, melainkan bagian dari proyek visual kolonial. Potret Kartini tidak sekadar gambar perempuan Jawa dalam kebaya. Ia adalah konstruksi sosial dan politik yang menyiratkan pesan tentang modernitas, kelas sosial, dan posisi perempuan dalam tatanan kolonial. 

Potret dia, seperti potret kaum priayi lainnya, merepresentasikan citra ”pribumi terpelajar” yang disukai kolonial: taat, terdidik, dan adaptif terhadap nilai-nilai Eropa.

BACA JUGA:Peringati Hari Kartini, Hotel Zest Jemursari Adakan Kegiatan Berdandan dan Berbusana untuk Wanita Indonesia

BACA JUGA:Peringatan Hari Kartini: Srikandi PLN Berikan Edukasi ke Siswi SMK Sore 1 Ponorogo, Beberkan Pengalaman dan Pengetahuan Soal Kelistrikan

Stuart Hall (1997), dalam teori representasi, mengingatkan bahwa gambar bukan sekadar cermin kenyataan, melainkan struktur makna yang dibentuk oleh bahasa, simbol, dan kekuasaan. Potret Kartini adalah semacam teks visual yang terus-menerus dibaca ulang dalam konteks budaya dan politik yang berubah. 

Kini potret tersebut hadir dalam buku pelajaran, uang kertas, stiker digital, hingga meme TikTok. Dalam semiotika, potret itu menjadi tanda visual yang memanggul makna-makna: kecerdasan, emansipasi, dan kemajuan perempuan. 

Namun, representasi tersebut juga berisiko mereduksi kompleksitas sosok Kartini menjadi ikon tunggal yang ”dijinakkan” –dalam makna dan tampilannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: