Hardiknas: Saat Pendidikan Menjadi Panggung Kemunafikan

Hardiknas: Saat Pendidikan Menjadi Panggung Kemunafikan

Pendidikan kita kehilangan jiwa, saat ruang belajar berubah jadi arena tekanan dan transaksi.--Getty Images

Apakah ada yang salah dengan pendidikan kita?

Apakah kita sedang melahirkan generasi yang materialistis dan permisif?

Anak-anak yang sedari kecil belajar untung-rugi dan pragmatisme?

Dunia pendidikan kita, alih-alih menjadi tempat pembebasan, justru telah berubah menjadi panggung kemunafikan dan ladang komersialisasi. Dan ironinya, kerusakan itu bukan datang dari luar—bukan oleh neoliberalisme global, bukan oleh mafia asing—tapi oleh pendidik itu sendiri.

Ijazah tak lagi bermakna kompetensi, melainkan tiket transaksi. Sekolah dan kampus menjelma biro legalisasi nilai. Anak-anak sekolah tidak lagi dididik untuk berpikir kritis, tapi untuk menyelesaikan soal. Mahasiswa bukan diarahkan untuk membangun gagasan, tapi untuk memenuhi format.

BACA JUGA: Mengenal Sejarah Hari Pendidikan Nasional dan Sosok Ki Hajar Dewantara

Di balik toga wisuda dan seremoni kelulusan, tersembunyi tradisi suram: panen parcel.

Kelulusan atau kenaikan kelas, bukan lagi soal memetik hasil didik, tapi memanen bingkisan. Diberi dengan kode, diterima dengan senyum. Tradisi tua yang lestari sejak saya SD hingga bangku kuliah. Mirisnya, ini juga hidup di lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama.

Tak cukup sampai di sana. Dunia akademik kini dijejali tulisan berbayar. Artikel bukan lahir dari riset, tapi dari tenggat dan dana insentif. Banyak yang hanya copy–paste halus, atau modifikasi dari karya lama. Ilmu diperdagangkan demi jabatan. Tulisan jadi uang, uang jadi mobil, jabatan naik—dan integritas terkubur. Sementara mereka yang setia mendampingi siswa dalam kebingungan justru dianggap tidak produktif.

BACA JUGA: Tema dan Logo Hardiknas 2025 serta Sejarah Perjuangan Ki Hajar Dewantara di Dunia Pendidikan


Di balik toga dan seremoni, tersembunyi tradisi hadiah yang mereduksi makna pendidikan.-Monica Olteanu's Images-

Lantas, siapa yang masih pantas disebut guru?

Yang mengajar dengan hati, atau yang menghitung keringat demi uang?

Di balik jargon reformasi dan visi misi birokrasi pendidikan yang manis, bersembunyi ambisi, intrik, dan politik kecil. Yang menjilat naik, yang jujur dipinggirkan. Institusi pendidikan menjelma panggung kekuasaan, bukan rumah gagasan.

Pendidikan kita hari ini bukan lagi tempat belajar yang menyenangkan, tapi ruang penuh tekanan. Siswa takut bertanya karena khawatir dianggap bodoh. Mahasiswa takut berpendapat karena khawatir nilai turun—atau sebaliknya, dianggap “minteri” guru. Semua dicekam oleh ketakutan, bukan disemangati oleh keingintahuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: