Bisakah Prabowo Lepas dari Jokowi?

ILUSTRASI Bisakah Prabowo Lepas dari Jokowi?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Prabowo Dituding Cawe-Cawe di Pilgub Jateng
Pengerahan itu berupa instruksi, intimidasi, dan mobilisasi, baik kepala daerah maupun masyarakat. Pengerahan parcok itu dibarengi dengan aparat TNI. Parcok dan TNI saling bantu untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
Dua, sebagian besar kepala daerah yang berstatus Plt bisa ”dimobilisasi” Kementerian Dalam Negeri untuk memenangkan pasangan nomor 2 (Prabowo-Gibran). Rangkaian desain politik itu telah digarap sejak tahun 2022 (Lihat video Dirty Vote).
Jokowi selaku presiden mengevaluasi mereka setiap hari dan mengancam memecatnya jika dianggap ”miring-miring”.
BACA JUGA:Prabowo dan Subiyanto
BACA JUGA:Tanah Capres Prabowo Subianto, Pintar atau Goblok?
Tiga, distribusi dana APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) dalam bentuk bansos (bantuan sosial). Menurut Sri Mulyani, pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial atau perlinsos yang mencakup bantuan langsung tunai, bansos pangan, dan program keluarga harapan dan bantuan pangan nontunai senilai Rp 496 triliun pada APBN 2024.
Para oligarki juga mem-back-up Prabowo-Gibran. Prabowo pernah bertemu mereka. Oligarki itu masih berada dalam jangkauan kekuasaan Jokowi. Menurut media Mongabay, setidaknya ada 21 oligarki yang bertemu Prabowo.
Secara hipotesis, dana pasangan nomor 1 Anies Basewedan-Muhaimin Iskandar dan nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dana di belakang Prabowo-Gibran. Semua itu cawe-cawe Jokowi.
Kedua, Presiden Jokowi sering menggunakan politik sandera (PS). Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus menuding Jokowi menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk menyandera lawan politik.
”Saya takutnya Pak Jokowi ini terinspirasi sama Edgar Hoover mantan direktur FBI, yang menyimpan kasus semua petinggi di Amerika Serikat sehingga ia bisa kendalikan. Saya yakin itu yang ada di tangan Pak Jokowi sehingga semua bisa disetel,” kata Deddy.
Artinya, Jokowi mempunyai data kasus para menteri atau bawahannya, termasuk Prabowo sebagai menteri pertahanan, yang bisa digunakan untuk mengendalikannya. Kasus memaksa mundurnya Airlangga Hartarto sebagai ketua umum DPP Partai Golkar untuk diganti Bahlil Lahadalia.
Begitu juga kasus gagalnya Prabowo dengan programnya, food estate, yang menelan dana triliunan rupiah sangat bagus untuk contoh itu.
Secara hipotesis, kemenangan besar Prabowo-Gibran dipengaruhi faktor di atas. Teoretis, jika ada tiga pasangan calon dalam pilpres, biasanya akan berlangsung dua putaran. Agak susah terjadi satu putaran, apalagi Prabowo-Gibran memperoleh suara 58,59 persen.
Di sisi lain, partai Prabowo, yaitu Partai Gerindra, hanya memperoleh suara 13, 22 persen, hanya di peringkat ketiga. Dalam teori coat-tail effect, semestinya Gerindra menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: