Problematik Pemisahan Pemilu Nasional Dan Pemilu Lokal

Pemungutan suara.-Dokumentasi-
--
PUTUSAN MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang memutus bahwa harus ada pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal secara serentak, di satu sisi mendapatkan apresiasi positif. Tetapi di satu sisi putusan ini cukup problematik.
Apresiasi positif dari putusan MK ini dapat kita lihat pada alasan MK dalam memutus perkara ini. Paling tidak, ada tiga alasan kenapa akhirnya MK memutuskan bahwa antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal harus dipisahkan.
Pertama, dengan adanya pemilu serentak nasional yang menggabungkan pemilu Presiden/Wapres, DPR, DPD, dan DPRD dengan Pilkada pada tahun yang sama, berakibat pada minimnya waktu bagi pemilih untuk menilai kinerja dari Presiden/Wapres dan anggota yang terpilih melalui mekanisme pemilu.
Kedua, dengan adanya rentang waktu yang dekat antara pemilu nasional dan Pilkada, maka akan berakibat pada tenggelamnya isu pembangunan daerah di tengah isu nasional.
BACA JUGA:Putusan MK: Foto Kampanye Pemilu Dilarang Gunakan AI Berlebihan
BACA JUGA:Partisipasi Pemilih Pilkada Anjlok Hampir 20 Persen dari Pemilu 2024
Di samping itu, alasan lainnya adalah adanya kejenuhan dari rakyat pemilih untuk melakukan pemilihan jika pilkada dilaksanakan di tahun yang sama. Karena di tahun yang sama, mereka telah memilih Presiden/Wapres, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD. Penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu juga pasti mengalami beban kerja yang sangat tinggi, jika antara pemilu nasional dan Pilkada dilakukan secara serentak di tahun yang sama.
MK akhirnya memutuskan kalau antara pemilu nasional serentak dan pemilu lokal serentak dilaksanakan secara terpisah dengan selisih waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan.
Jika kita melihat pada alasan dari MK dalam memutus perkara ini, nampaknya ini merupakan putusan yang progresif, meskipun alasan MK ini lebih didominasi dengan alasan nonhukum. Namun, di satu sisi jika dilihat pada implikasinya maka putusan MK ini menjadi problematik.
Problematik ini terkait dengan masa jabatan anggota DPRD baik di level provinsi, maupun level kabupaten/kota. Mengapa menjadi problematik? Pasal 22 E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
BACA JUGA:Meski Ditahan Partisipasi WBP Rutan Medaeng Capai 72,8 persen, Saat Pemilu
BACA JUGA:Cuaca Ekstrem Hambat Distribusi Logistik Pemilu 2024
Dari pernyataan Pasal 22 E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, jelas kalau anggota DPRD baik di level provinsi maupun kabupaten/kota dipilih melalui pemilu. Oleh karena itu, pemilihan anggota DPRD masuk dalam rezim pemilu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: