Ekspor Tiongkok Meroket Setelah Gencatan Tarif dengan AS

JAJARAN MOBIL TIONGKOK siap diekspor dari Pelabuhan Nanjing, Provinsi Jiangsu, 11 Juli 2025.-AGENCE FRANCE-PRESSE-
Zhiwei Zhang, presiden dan kepala ekonom di Pinpoint Asset Management, menambahkan bahwa lonjakan ekspor ke AS mencerminkan strategi frontloading dari perusahaan-perusahaan Tiongkok. Artinya, mereka secepat mungkin mengirim barang mengantisipasi kemungkinan diberlakukannya kembali tarif baru. Strategi itu dinilai sebagai upaya jangka pendek untuk mengamankan pendapatan ekspor sebelum kondisi memburuk.
BACA JUGA:Jelajah Bangunan Terbengkalai, Hobi Anyar Anak Muda Tiongkok
BACA JUGA:Deal, AS-Tiongkok Capai Kesepakatan Dagang
“Angka ekspor yang kuat tersebut membantu menutup lemahnya permintaan domestik. Dan kemungkinan bisa menjaga pertumbuhan PDB di angka sekitar target pemerintah yaitu lima persen pada kuartal kedua,” kata Zhang.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa prospek untuk paro kedua tahun ini masih tidak jelas. Sebab, strategi frontloading ekspor ke AS akan kehilangan efeknya.
Dalam konferensi pers, Senin 14 Juli 2025, pejabat bea cukai Wang Lingjun menyatakan harapannya. Bahwa AS dan Tiongkok akan terus bekerja sama ke arah yang sama. Sebagaimana dikutip CCTV, Wang menyebut bahwa kesepakatan tarif itu adalah hasil yang sulit diraih. ’’Perundungan dan pemaksaan itu bukan jalan keluar. Dialog dan kerja sama adalah jalan yang benar,” ujarnya.
Namun, di balik narasi diplomatik tersebut, tantangan ekonomi domestik Tiongkok masih membayangi. Pertumbuhan kuartal pertama tahun ini mencapai 5,4 persen. Melebihi ekspektasi. Namun, para analis memperkirakan bahwa banyak tantangan yang menekan performa kuartal berikutnya. Misalnya, krisis utang sektor properti, rendahnya konsumsi domestik, dan pengangguran tinggi di kalangan anak muda terus menghantui.
KONSUMEN mendatangi gerai Miniso di sebuah mal di Beijing, 1 Juli 2025. Tiongkok terus mendongkrak konsumsi ritel.-ADEK BERRY-AFP-
Data pekan lalu menunjukkan bahwa harga konsumen hanya naik tipis pada Juni. Cukup untuk mengakhiri deflasi empat bulan berturut-turut. Namun, harga di tingkat produsen jatuh dengan laju tercepat dalam hampir dua tahun. Indikator itu memperkuat kesan bahwa permintaan domestik belum cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi secara mandiri.
Situasi itu memperkuat argumen para ekonom yang mendorong Tiongkok untuk mengalihkan orientasi ekonominya ke dalam negeri. Ketergantungan berlebihan pada investasi infrastruktur, manufaktur, dan ekspor dianggap tidak lagi menjadi jaminan.
Sejumlah langkah telah diambil oleh pemerintah. Misalnya, subsidi tukar tambah barang konsumsi. Dan itu sempat mendorong aktivitas ritel. Namun, banyak yang menilai langkah-langkah tersebut belum cukup untuk menciptakan permintaan domestik yang kukuh.
BACA JUGA:Sinergi RI–Tiongkok, Samator Bentuk Task Force Bersama Bidang Gas Industri
Target pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar lima persen pada 2025 tetap dianggap ambisius oleh sejumlah kalangan. Realisasi target itu bergantung pada keberlanjutan pertumbuhan ekspor serta efektivitas stimulus domestik dalam membalikkan tren konsumsi yang lesu. Jika strategi pertumbuhan tidak segera dialihkan ke konsumsi domestik yang lebih kuat, maka ketergantungan pada ekspor hanya akan menjadi solusi sesaat. Rawan jatuh ke masalah yang jauh lebih dalam. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: