Anomali Harga Beras

ILUSTRASI Anomali Harga Beras.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
MINGGU INI harga beras di berbagai daerah naik cukup tajam. Hampir di semua daerah harga beras sudah melampaui harga eceran tertinggi (HET). Bahkan, di beberapa daerah harga beras menembus Rp 19.000 per kg. Jauh di atas HET tertinggi Rp 15.400 untuk beras premium di zona 3, yaitu Maluku dan Papua.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat bahwa harga beras di 37 provinsi telah melampaui HET. Hanya di Kalimantan Selatan harga beras berada di bawah HET.
Di Papua Barat harga telah melampaui HET hingga 26,25 persen, disusul Kalimantan Timur 21,85 persen, dan Kalimantan Utara 19,5 persen. Sementara itu, di sebelas provinsi harga di atas HET, tapi tidak melebihi 5 persen.
BACA JUGA:Harga Eceran Tertinggi Beras
BACA JUGA:Beras Kalah
Beras juga menjadi inflator dalam lima bulan terakhir. Itu menandakan harga beras terus naik meski tidak drastis. Juni lalu, misalnya, beras menyumbang inflasi 0,04 persen dari inflasi Juni sebesar 0,19 persen. Itu kenaikan harga yang tinggi. Sebab, Mei lalu terjadi deflasi 0,37 persen.
Pada 2025 HET beras medium di zona I, II, dan III masing-masing ditetapkan Rp 12.500 per kilogram, Rp 13.100 per kilogram, dan Rp 13.500 per kilogram. Sementara itu, HET beras premium di zona I, II, dan III masing-masing dipatok Rp 14.900 per kilogram, Rp 15.400 per kilogram, dan Rp 15.800 per kilogram.
Menurut penggolongan Bapanas, zona I terdiri atas Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi. Zona II terdiri atas Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan. Sementara itu, zona III meliputi daerah Maluku dan Papua.
BACA JUGA:Ancaman Harga Beras
BACA JUGA:Impor Beras
Tingginya harga beras itu merupakan anomali. Sebab, itu terjadi justru saat Bulog mencatatkan stok beras tertinggi sepanjang sejarah. Melebihi 4,2 juta ton.
Lalu, mengapa harga beras di pasar justru naik? Yang jelas, bukan karena stok nasional kurang atau menipis. Namun, disebabkan stok beras di lapangan yang tipis.
Salah satu penyebabnya adalah kebijakan Bulog yang harus menyerap gabah petani. Hal itu memang bagus karena menguntungkan petani. Harga pembelian Bulog cukup bagus karena dilindungi kebijakan harga pembelian terendah.
BACA JUGA:Dilema Bantuan Beras dan Program Diversifikasi Pangan
BACA JUGA:Beras Dikubur di Depok, Perlukah Autopsi?
Harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) adalah Rp 6.500 per kg. Harga yang cukup tinggi karena biasanya pada saat panen, harga GKP jauh di bawah Rp 5.000 per kg.
Pembelian besar-besaran Bulog itu mengakibatkan stok gabah di lapangan menipis. Padahal, penggilingan-penggilingan swasta memerlukan bahan baku gabah yang cukup besar. Itu menjadikan persaingan penggilingan swasta cukup ketat dan mengerek harga gabah hingga mendekati atau bahkan mencapai HET beras.
Di beberapa daerah penggilingan swasta yang sulit memperoleh gabah akhirnya menutup usahanya sementara. Itu berdampak pada ketersediaan beras di lapangan.
BACA JUGA:Musim Panen, HET Beras Malah Naik
BACA JUGA:Giliran Harga Beras Yang Naik
Sebab, di satu sisi, Bulog tidak serta-merta bisa melepas beras yang dimilikinya. Bulog terikat aturan bisa melepas stok berasnya hanya dalam keadaan tertentu. Artinya, Bulog tidak bisa melepas berasnya sewaktu-waktu. Bulog melepas beras dalam beberapa keadaan.
Di antaranya, beras sudah melewati batas waku penyimpanan minimal, beras rusak dan tidak layak konsumsi, dan tidak ada penugasan dari pemerintah.
Penyebab kenaikan harga beras itu cukup beralasan. Sebab, sebagian besar stok Bulog 4,2 juta ton berasal dari pembelian gabah kepada petani, yaitu sekitar 2,4 juta ton.
Artinya, wajar jika pada saat bersamaan, penggilingan gabah swasta kesulitan untuk mendapatkan gabah karena bersaing dengan Bulog. Sementara itu, beras yang dibeli Bulog tidak dapat cepat dikeluarkan karena adanya ketentuan-ketentuan.
Anomali harga beras itu harus segera direspons pemerintah dan Bulog. Sebab, stok yang sangat besar itu bisa menjadi beban bagi Bulog.
Pertama, beras memiliki daya simpan yang rendah. Idealnya, beras hanya disimpan 4 bulan. Lebih dari itu, beras harus dikeluarkan agar kualitasnya tidak turun atau bahkan rusak –tidak layak konsumsi.
Kedua, biaya simpan beras cukup mahal. Kapasitas gudang Bulog hanya sekitar 3 juta ton. Saat ini, dengan stok mencapai 4,2 juta ton, Bulog sudah menyewa gudang berkapasitas 1,4 juta ton yang tidak murah.
Ketiga, dengan stok 4,2 juta ton dan Bulog harus menyisakan stok akhir tahun sekitar 1,25 juta ton saja, berarti Bulog harus mengeluarkan sekitar 3 juta ton dalam waktu enam bulan. Itu berarti, rata-rata Bulog harus mengeluarkan 500 ribu ton per bulan. Itu pasti tidak mudah.
Dengan beban seperti itu, saat harga beras terus menanjak naik, sudah seharusnya Bulog segera melepas beras ke pasar dalam jumlah besar. Memang itu ada konsekuensinya, yakni harga gabah akan turun dan itu bisa merugikan petani. Tapi, apa gunanya stok banyak, sedangkan harga beras tinggi?
Payung hukumnya sudah ada. Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan Inpres No 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah.
Caranya, antara lain, melalui operasi pasar Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), tanggap darurat bencana, program Makan Bergizi Gratis, CBP pemda, bantalan sosial, serta untuk TNI-Polri dan ASN.
Pelepasan beras Bulog besar-besaran saat ini juga sangat tepat. Sebab, saat ini harga beras di berbagai daerah terus menunjukkan kenaikan. Pelepasan stok Bulog akan mengisi kekosongan beras dan akan segera menurunkan harga beras yang sudah dikeluhkan berbagai kalangan.
Tentu saja, dengan tetap menjaga agar harga gabah kering panen tidak jatuh di bawah harga terendah pembelian pemerintah, yaitu Rp 6.500 per kg. (*)
*) Guru besar pada Departemen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: