Melawan Bencana Demografi dengan Rengasdengklok Baru

Melawan Bencana Demografi dengan Rengasdengklok Baru

ILUSTRASI Melawan Bencana Demografi dengan Rengasdengklok Baru-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Cita-Cita Menkes Budi untuk Indonesia Jadi Negara Maju, Menyongsong Masyarakat Sehat dalam Bonus Demografi

BACA JUGA:Persebaran Dokter Belum Merata (2) : Terkendala Biaya dan Demografi

Hari ini peran generasi muda diuji melalui fenomena bonus demografi. Sensus 2020 menunjukkan lebih dari 70 persen penduduk Indonesia berada pada usia produktif, sebuah peluang langka yang hanya singgah sekali dalam sejarah bangsa. 

Namun, kesempatan itu menyimpan dilema: bisa menjadi berkah bila dikelola dengan tepat atau berubah menjadi bencana bila terabaikan. Laporan PBB menegaskan, keuntungan demografi tidak otomatis hadir, tetapi harus dipanen lewat kebijakan serius di bidang pendidikan, kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja. 

The Economist pun memperingatkan risiko stagnasi. Yakni, tanpa reformasi struktural, Indonesia berpotensi terjebak dalam pertumbuhan 5 persen, jauh dari syarat untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah.

Tiongkok dan negara-negara emerging economy memberikan pelajaran berharga. Setengah abad lalu pemerintah Tiongkok melakukan intervensi besar-besaran pada sektor kesehatan, pendidikan, dan industrialisasi. Bonus demografi mereka menjadi mesin pertumbuhan hingga dua digit. 

Namun, momentum itu singkat karena sejak 2014 populasi usia kerja mencapai puncak dan kini mulai menyusut. India kini menghadapi peluang serupa, tetapi akses pendidikan yang timpang dan reformasi pasar kerja yang lamban menghambat optimalisasi dividen. 

Brasil pun pernah berada di titik itu. Namun, politik yang tidak stabil serta lemahnya industrialisasi membuatnya gagal memetik hasil. Sebaliknya, Vietnam yang lebih kecil justru berhasil mengubah bonus demografi menjadi fondasi kokoh dengan membangun basis manufaktur dan mengintegrasikan diri dalam rantai pasok global.

BONUS DEMOGRAFI ATAU BENCANA DEMOGRAFI?

Mengkritisi fenomena hari ini membawa kita pada nasihat Bung Karno. Dalam pidato HUT Ke-21 RI, ia berujar, ”Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” 

Pesan itu relevan saat kita menyaksikan kebijakan kebut semalam dalam rancangan undang-undang yang tak mendesak, izin yang merusak alam, hingga pragmatisme politik yang mudah menggadaikan kepentingan nasional. 

Bahkan, rencana pemerintah meluncurkan ”sejarah resmi” berpotensi memonopoli tafsir masa lalu. Semua itu menunjukkan arah kebijakan kerap abai pada kepentingan jangka panjang. 

Padahal, di tengah bonus demografi yang hanya sekali hadir, pemerintah semestinya menata prioritas dengan serius: memperkuat pendidikan, memperluas lapangan kerja, dan menyiapkan generasi muda sebagai penggerak menuju Indonesia Emas 2045.

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan karena pengangguran pemuda yang masih tinggi dan dominasi pekerja informal. Jika transisi dari sekolah ke dunia kerja tidak berjalan mulus, bonus demografi berpotensi menjadi beban sosial. 

Oleh sebab itu, peran generasi muda sangat krusial, bukan hanya sebagai angka statistik dalam piramida penduduk, tetapi sebagai agen yang menguasai keterampilan baru, literasi digital, serta kecakapan memanfaatkan kecerdasan buatan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: