Membangun Bangsa dengan Empan Papan: Seni Memimpin dengan Rasa dan Kesadaran

Membangun Bangsa dengan Empan Papan: Seni Memimpin dengan Rasa dan Kesadaran

H.M. Ali Affandi L.N.M.-Kominfo Jatim-

ORANG JAWA punya satu ajaran sederhana tapi dalam: empan papan. Artinya, tahu menempatkan diri, tahu membaca situasi, dan tahu menjaga keseimbangan. Dulu ia lahir dari kehidupan sehari-hari: cara menghormati orang lain, cara hidup selaras dengan alam, cara bicara dengan bijak. Tapi hari ini, di tengah bangsa yang gelisah, empan papan justru terasa paling relevan.

Indonesia sedang berada di titik rawan. Di satu sisi, kita dipuji sebagai negara besar dengan potensi jadi kekuatan dunia. Tapi di sisi lain, kita dihantam gelombang: krisis ekonomi, polarisasi sosial, lingkungan yang rusak, dan runtuhnya kepercayaan rakyat pada para pemimpin. Aksi demonstrasi yang marak di jalanan beberapa waktu lalu adalah tanda: rakyat sudah lelah hanya dijadikan penonton.

Di sinilah empan papan hadir, bukan sebagai dongeng, tapi sebagai kompas. Ada empat hal utama yang bisa jadi pegangan: keluwesan, empati, kesadaran sosial, dan keseimbangan.

BACA JUGA:DPR dan Demokrasi Berdampak

BACA JUGA:Khofifah Pimpin Apel dan Doa Bersama 1.500 Personel untuk Keamanan Jatim, Komitmen Jaga Stabilitas Daerah

Keluwesan itu fleksibel tanpa kehilangan prinsip. Hidup ini tak bisa kaku. Dunia bergerak cepat—krisis energi, perang dagang, hingga teknologi yang berubah tiap hari. Sayangnya, pemerintah kita sering lambat merespons, lebih sibuk menjaga citra daripada menyesuaikan diri.

Empan papan mengajarkan keluwesan. Pemimpin yang luwes tidak merasa “paling tahu”, tapi berani mendengar dan berubah arah jika memang dibutuhkan. Keluwesan bukan berarti plin-plan, melainkan cerdas membaca gelombang. Seperti kapal, ia tidak melawan arus, tapi pandai menggunakannya untuk tetap sampai tujuan.

Empati yang menyentuh rasa, Bukan hanya angka. Rakyat tidak hidup dari data dan grafik. Mereka hidup dari beras yang harganya naik, listrik yang makin mahal, biaya sekolah dan rumah sakit yang memberatkan. Ironisnya, di saat rakyat terjepit, banyak pejabat justru sibuk pamer gaya hidup mewah.

BACA JUGA:Tokoh Lintas Agama Dukung Presiden Prabowo Segera Penuhi Aspirasi Rakyat

BACA JUGA:Prabowo Janji Dorong UU Perampasan Aset, Tokoh Lintas Agama Soroti Pajak dan Korupsi

Di sinilah empati diuji. Pemimpin yang punya empati bukan hanya bicara di depan kamera, tapi hadir di tengah rakyat, mau mendengar keluhan langsung. Empati artinya keberanian untuk membuat kebijakan yang benar-benar berpihak pada mereka yang kecil, bukan hanya yang besar.

Pejabat kita wajib memiliki kesadaran sosial, dapat melihat luka yang sering disembunyikan. Negeri ini penuh paradoks. Ada segelintir orang dengan harta triliunan, tapi ada jutaan rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ada kota megah dengan gedung menjulang, tapi masih ada desa yang gelap gulita.

Kesadaran sosial mengingatkan: pembangunan bukan sekadar proyek besar, tapi tentang apakah rakyat kecil merasakan manfaatnya. Apa artinya jalan tol panjang kalau harga sembako tetap mencekik? Apa artinya kebijakan kendaraan listrik kalau nelayan dan petani masih berjuang dengan alat seadanya?

Kita harus mencari keseimbangan: berani bermimpi, tapi tetap membumi. Kita hidup di zaman pamer. Pemerintah tidak boleh bangga dengan acara besar, gedung tinggi, atau tol baru. Tapi semua itu kosong jika rakyat masih merasa tertinggal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: