Peluncuran Buku Ramadan Tak Terlupakan: Talk Show Plagiarisme dari Perspektif Hukum HKI dan Pidana

Rangkaian acara peluncuran buku antologi Ramadan Tak Terlupakan, dengan talkshow yang mengangkat isu plagiarisme dari perspektif hukum HKI dan pidananya. --Istimewa
Dia menambahkan, salah satu motif utama pelaku plagiarisme berhubungan dengan faktor ekonomi. Yakni, ingin mendapatkan uang secara instan dari karya orang lain.
Dia juga menyinggung Permendikbud Nomor 39 Tahun 2021 yang secara resmi memperkenalkan istilah “plagiat” dalam regulasi, meski praktiknya sudah ada sejak berabad-abad lalu.
IRWINA SYAHRIR (kiri) dalam talk show plagiarisme di sela peluncuran Ramadan Tak Terlupakan. Gelar wicara dipandu Didi Cahya. --Istimewa
BACA JUGA:Lindungi Karya, Cegah Plagiarisme: Kemenkumham Jatim Edukasi Konten Kreator dan Kampus di Malang
BACA JUGA:Kasus Plagiat Membuat Wind Breaker Harus Dihentikan Penayangannya di Webtoon
Plagiarisme, menurut Irwina, menjadi ancaman nyata bagi kalangan mahasiswa yang sehari-hari akrab dengan aktivitas menulis.
Dia mencontohkan kasus tugas mahasiswa yang digunakan oleh dosen atau pihak lain untuk kepentingan publikasi jurnal tanpa mencantumkan nama si pemilik karya.
Situasi itu dianggapnya sebagai bentuk nyata pelanggaran hak moral. Sebab, sekecil apapun karya, termasuk tulisan mahasiswa, layak mendapatkan penghargaan.
“Dengan menyebut sumber dari sebuah gagasan, itu cara kita menghargai karya orang lain,” ujarnya.
BACA JUGA:DJKI Rekomendasikan Pemblokiran 15 Akun Penjual Buku Bajakan Milik Gramedia
BACA JUGA:Deklarasi Perlawanan pada Buku Bajakan Disuarakan dari Yogyakarta
Untuk menghindari plagiarisme yang tidak disengaja, Irwina merekomendasikan penggunaan aplikasi seperti Turnitin yang bisa membantu mendeteksi plagiarisme.
Selain membicarakan aspek etika, dia juga menegaskan bahwa plagiarisme merupakan ranah hukum yang memiliki konsekuensi serius. Meski mengaku tak sengaja, pelaku tetap dijerat undang-undang.
Regulasi mengenai hak cipta di Indonesia telah mengalami perkembangan sejak tahun 1982. Sanksi yang berlaku saat ini pun cukup berat, mulai dari ancaman pidana penjara hingga 10 tahun, atau denda hingga Rp5 miliar.
Mereka yang merasa karyanya diplagiat, Irwina punya beberapa saran. Di antaranya, melapor kepada pihak berwenang, menempuh jalur pidana, ataupun bermediasi dengan pihak yang melakukan plagiarisme.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: