Janji yang Tertunda: Potret Koperasi Indonesia

ILUSTRASI Janji yang Tertunda: Potret Koperasi Indonesia.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
LEBIH DARI 130 ribu koperasi tercatat aktif di Indonesia, dengan hampir 30 juta anggota yang secara teori seharusnya menjadi mesin penggerak ekonomi rakyat. Namun, faktanya, kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto masih relatif kecil, yakni 4–6 persen, meski sempat menyentuh 6,2 persen pada 2024. Bandingkan dengan UMKM yang menyumbang lebih dari 60 persen.
Di negara lain, koperasi justru mampu menjadi pemain utama. Di Finlandia, misalnya, S-Group menguasai hampir separuh pangsa pasar ritel. Di Selandia Baru koperasi susu bahkan menembus pasar ekspor global dan menjadi motor ekonomi nasional.
Dua contoh itu memberikan inspirasi: koperasi bisa tumbuh besar bila dikelola dengan serius. Lalu, kita menoleh ke dalam negeri. Indonesia punya potensi yang sama besarnya, tetapi sering mandek di jalan.
BACA JUGA:Koperasi Desa Merah Putih, Mau Dibawa ke Mana?
BACA JUGA:Program Koperasi Desa Merah Putih Percepat Pembangunan Astacita
Kekuatan koperasi kita tidak pernah benar-benar tumbuh, hanya menjadi janji lama yang terus ditunda. Pertanyaannya, sampai kapan janji itu dibiarkan menunggu?
Sejarah koperasi di Indonesia lahir dari semangat besar. Bung Hatta sejak awal menegaskan koperasi sebagai jalan demokrasi ekonomi, bukan sekadar usaha dagang bersama. Ia menyebut koperasi sebagai sokoguru, tiang penyangga yang menjaga agar ekonomi tidak hanya dikuasai pemodal besar.
Namun, beberapa dekade setelah itu, cita-cita tersebut seperti kehilangan daya. Bahkan, gelar ”Bapak Koperasi” pun belakangan sempat diperdebatkan ketika ada wacana menyebut nama Margono Djojohadikoesoemo sebagai alternatif.
BACA JUGA:Geliat Koperasi Desa Merah Putih dalam Mengerahkan Perekonomian Bottom-up
BACA JUGA:BUMDes dan KUD, Quo Vadis? setelah Nanti Koperasi Desa Merah Putih Hadir
Sebagian orang menganggap diskusi itu bagian dari penghargaan sejarah, sebagian lain melihatnya sebagai riak politik yang tidak perlu. Di balik perdebatan simbolis, masalah sesungguhnya jauh lebih nyata: koperasi di Indonesia sulit bergerak maju.
Kalau ditelusuri, ada masalah psikologis yang menahun. Anggota koperasi sering hanya aktif saat mendaftar atau ketika menerima pembagian sisa hasil usaha (SHU). Anggota sering absen ketika harus ikut mengawasi jalannya organisasi. Rasa memiliki yang seharusnya jadi inti malah melemah.
Di sisi lain, pengurus lebih banyak sibuk dengan rapat formal, tanda tangan, dan laporan administratif, tetapi lupa menyalakan mesin strategi, lupa berinovasi. Koperasi akhirnya berjalan seperti perahu dengan dayung yang patah: bisa bergerak, tapi tidak pernah benar-benar melaju alias jalan di tempat.
BACA JUGA:Koperasi, Usaha Berbasis Budaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: