Jeritan Kampung Dupak Bangunrejo Lewat Drama Monolog Sangkan Paran: Jantung Tanpa Hati

Jeritan Kampung Dupak Bangunrejo Lewat Drama Monolog Sangkan Paran: Jantung Tanpa Hati

BATANG PISANG dalam drama monolog Sangkan Parang menjadi simbol manusia yang punya jantung tapi tak punya hati.-Moch. Sahirol Layeli-Harian Disway-

HARIAN DISWAY - Lama menyandang label sebagai kampung lokalisasi, Kampung Dupak Bangunrejo ingin lahir baru sebagai kampung seni budaya. Drama monolog Sangkan Paran dalam rangkaian Mbangunredjo Art Festival 2025 menjadi salah satu pemicu kontraksi kelahirannya. 

“Harapan kami, rangkaian festival seni dan budaya ini mampu menghalau diskriminasi terhadap kaum perempuan dan anak-anak yang sering menjadi korban stigma kampung lokalisasi,” terang Abdoel Semute, ketua pelaksana, pada Minggu malam, 28 September 2025.

Sangkan Paran dibawakan dengan dramatis oleh Wijayani Rahayu Ningsih. Dia mengungkapkan duka perempuan dalam adegan demi adegan. Mulai dari menikah hingga kehilangan orang-orang terkasih. 

BACA JUGA:Gerakan Kebudayaan Kampung Bangunrejo

BACA JUGA:Kampung Kreatif Dupak Bangunrejo Meriahkan Peringatan Kemerdekaan RI dengan Sound Horeg dan Dongkrek


OBOR dalam genggaman Wijayani Rahayu Ningsih menjadi lambang harapan yang memotivasi kehidupan.-Moch. Sahirol Layeli-Harian Disway-

Berbalut busana pengantin Jawa berwarna hijau dan hiasan melati pada rambutnya, perempuan yang akrab disapa Rara itu bermonolog. Kisah berawal dari pernikahan. Seiring berjalannya waktu, dia dihadapkan pada realita demi realita yang membuatnya mengenal banyak luka dan duka. 

Rara mengatakan bahwa rangkaian adegan dalam drama monolognya adalah kisah hidupnya sendiri. “Di awal, saya bercerita tentang bahagianya pernikahan. Saya memakai adat Jawa, seolah melihat pernikahan saya sendiri dengan kekasih saya,” ungkap Rara. Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sebentar.

Sirine meraung di arena pertunjukan saat Rara menggambarkan kepergian sang suami pada 2020 akibat Covid-19. Tidak mudah baginya untuk beradaptasi dengan rasa kehilangan itu.

Namun, buah hati mereka membuat Rara harus kuat melanjutkan hidup sebagai single parent. Dalam drama monolog itu, buah hati Rara dilambangkan obor.

BACA JUGA:Berbagai Cara PCU Transformasi Gang Dolly, Dari Eks Lokalisasi jadi Sentra Kreatif

BACA JUGA:Transformasi Dolly Dari Eks-Lokalisasi Jadi Kampung Batik dan Sentra Kreatif

“Sedih itu tidak harus menangis dan patah semangat. Bisa diekspresikan lewat seni juga. Kita sebenarnya butuh rangkulan dan didengar,” jelas Rara.

Tak hanya kehilangan suami, dia juga kemudian kehilangan teman-teman dan keluarga. Duka demi duka itu Rara hadapi dengan diam. Dia telan semua kesedihannya.

Saat itu, tidak ada yang mau mengulurkan tangan untuknya. Tidak ada yang bersedia mendengarkannya. 

Namun, malam itu saat bermonolog, dia merasa ada banyak orang yang akhirnya mendengar suaranya. Setidaknya, para penonton yang sudah memadati lokasi pementasan sejak sore.

BACA JUGA:Emotional Healing untuk Penyembuhan Luka dan Trauma

BACA JUGA:Dramaturgi XX, Menyingkap Luka Batin Lewat Elliot dan Emma

Menjelang berakhirnya monolog, Rara menangis sejadi-jadinya di hadapan batang pisang yang melambangkan sikap manusia. Sebelum meratap, single mom itu lebih dulu mengoyak batang pisang dengan emosional sampai terbelah-belah.

“Terkadang manusia punya jantung, tetapi tidak punya hati,” tutur Rara geram.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: