FGD Bank Indonesia 2-3 Oktober 2025 (2): Menjaga Stabilitas dan Mengejar Pertumbuhan Ekonomi yang Lebih Baik

PARA peserta FGD Bank Indonesia di Bali.-istimewa-
JUMAT, 3 Oktober 2025, pertemuan sejumlah kolumnis, pengamat ekonomi, dan peneliti lembaga riset dengan Bank Indonesia (BI) di The Stones Hotel, Bali, diisi dengan acara diskusi kelompok terbatas (FGD). Acara diskusi digelar seharian dengan menampilkan tiga narasumber yang semuanya adalah deputi Bank Indonesia.
Di sesi pagi, narasumber yang hadir adalah Harry Agita, deputi direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI. Dalam paparannya, Harry menyampaikan materi mengenai kondisi perekonomian terkini dan respons kebijakan moneter hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) September 2025.
Harry adalah alumnus Nagoya University, Jepang. Ia memaparkan kondisi perekonomian global yang sedang tidak baik-baik saja. Situasi perekonomian global yang unpredictable sering kali ditandai dengan terjadinya guncangan atau kejutan tidak terduga.
BACA JUGA:FGD Bank Indonesia 2-3 Oktober 2025 (1): Melestarikan Cultural Heritage Melalui Tenun Endek
Kebijakan tarif Donald Trump, misalnya, adalah faktor utama yang disebut-sebut memengaruhi kondisi perekonomian global maupun kondisi ekonomi nasional. Selain itu, ketidakpastian dalam perdagangan internasional dan konflik geopolitik yang terjadi di Ukraina dan Gaza adalah faktor yang tidak bisa diabaikan pengaruhnya terhadap kondisi perekonomian ke depan.
TREN MELAMBAT
Secara umum, menurut Harry, kondisi perekonomian dunia dewasa ini cenderung dalam tren melambat. Itu diprediksi akan terus terjadi hingga akhir 2025. Di tingkat global, diprediksi perekonomian Amerika Serikat (AS) hanya tumbuh 2 persen.
Sementara itu, kondisi Eropa dan Jepang masih kurang lebih sama. Bahkan, Tiongkok –yang dulu perekonomiannya mampu tumbuh hingga dua digit– sekarang hanya tinggal sekitar 5 persen.
BACA JUGA:FGD Bank Indonesia, Akademisi, dan Peneliti (1): Mengelola Mitos, Mendorong Optimisme
Bagi Indonesia, perlambatan pertumbuhan ekonomi global tentu akan berdampak. Selama ini sekitar 25 persen produk ekspor Indonesia dikirim ke Tiongkok dan sekitar 10 persen ke AS. Ketika pertumbuhan ekonomi global hanya sekitar 3 persen dan berbagai negara dikenai kebijakan tarif Donald Trump yang relatif tinggi, konsekuensinya, permintaan pasar global pun akan cenderung lesu.
Sebagai negara yang banyak bergantung pada Tiongkok dan AS, perlambatan ekonomi yang terjadi di dua negara tersebut tentu akan memengaruhi ekspor komoditas Indonesia ke kedua negara itu.
Saat ini, menurut Harry, kondisi ekonomi global masih terus bergejolak. Perang dagang yang sempat mereda, kini ada indikasi kembali memanas. Ketidakpastian global itulah yang kemudian mengakibatkan arus modal keluar dari negara berkembang meningkat.
BACA JUGA:FGD Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Bali (1): Menyikapi Ancaman Ekonomi Global
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: