K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea

K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea

ILUSTRASI K-Pop dan Masifnya Setan Kapitalisasi Budaya Korea.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

PENULIS yakin semua pembaca Harian Disway pasti mengenal K-pop. Entah dari melihat orang lain yang sangat menggemari K-pop atau justru diri Anda sendiri yang tergabung dalam fandom salah satu idol. Orang kurang update mana yang belum pernah mendengar kata K-pop

Minimal jika nama itu terucap, bayangan BTS, Blackpink, atau bahkan drama seperti Squid Game dan makanan seperti kimchi akan langsung terlintas. 

Wajar saja, karena pada zaman sekarang popularitas K-pop telah menembus batas negara dan menyebar begitu cepat. Industrialisasi budaya Korea memang sangatlah masif hingga berhasil menguasai imajinasi publik global.

BACA JUGA:Nonton Konser K-Pop, Fans, atau Sekadar FOMO?

HALLYU DAN REKAYASA KEBIJAKAN INDUSTRI BUDAYA

Realitasnya, gelombang budaya Korea  atau hallyu yang mendunia itu bukanlah kebetulan. Hallyu lahir dari rekayasa kebijakan industri budaya yang terencana sejak 1990-an. 

Pemerintah Korea dengan sadar menggeser orientasi dari seni dan budaya awalnya sekadar dilestarikan disulap menjadi budaya yang diindustrialisasi atau menjadikan budaya sebagai komoditas hiburan. 

Glamor yang selalu melekat pada K-pop justru tersembunyi logika kapitalisme budaya. Budaya tidak lagi dimaknai sebagai ekspresi identitas, tetapi diukur lewat angka ekspor, tiket konser, dan jumlah views di YouTube. 

Sejatinya para akademisi budaya mazhab Frankfurt seperti Horkheimer dan Adorno sejak lama telah mengingatkan bahaya ”industri budaya”. 

Bahaya kapitalisasi budaya muncul ketika karya seni diproduksi bak barang pabrikan, diseragamkan, dan tunduk pada selera pasar. Kritik itu kini menemukan relevansinya dalam hallyu. 

Fakta adanya dehumanisasi trainee dilatih keras bertahun-tahun, kontrak idol sering kali eksploitatif, dan kreativitas personal dikalahkan oleh formula bisnis yang pasti laku.

Kritikan itu bukanlah omong belaka. Akademisi seperti Dal Yong-jin dalam A Critical Interpretation of the Cultural Industries in the Era of New Korean Wave menegaskan bahwa hallyu berkembang justru karena disangga kebijakan neoliberal yang menekankan profit dan nation branding

K-pop memang memberi Korea soft power yang luar biasa, tetapi di saat yang sama budaya diperlakukan hanya sebagai komoditas jualan. Fanatisme global pada akhirnya menopang logika konsumtif, dari album fisik hingga merchandise. 

HALLYU DAN PUSARAN SETAN KAPITALISME

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: