Menuju Model Hybrid Pengelolaan MBG

Menuju Model Hybrid Pengelolaan MBG

ILUSTRASI Menuju Model Hybrid Pengelolaan MBG.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

SIAPA BILANG program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak bagus. Hampir semua kalangan sepakat bahwa MBG adalah program prestisius dan unggulan pemerintah saat ini. 

Meski begitu, sebagaimana laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang dirilis pada 13 Oktober lalu, tercatat 11.566 anak mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari penyelenggara MBG. Sebagian besar korban mengalami gejala mual, muntah, dan diare. 

Data itu memperlihatkan masih lemahnya sistem pengawasan dan jaminan keamanan pangan dalam pelaksanaan program. 

BACA JUGA:MBG dan Ambisi Generasi Emas 2045

BACA JUGA:Uji Diskresi Program MBG

Hingga Oktober 2025, sebagaimana diberitakan Harian Disway (Minggu, 19 Oktober 2025), Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat, terdapat 11.567 satuan pelayanan pemenuhan bergizi (SPPG) yang beroperasi di seluruh Indonesia. 

Dari angka tersebut, sekitar 9.026 UMKM lokal ikut terlibat dalam rantai pasok bahan baku dan penyediaan makanan. Walau begitu, kasus keracunan masih terjadi di sejumlah daerah. 

Atas dasar itulah, DPR menilai perlunya perbaikan besar dalam tata kelola program.

BACA JUGA:MBG, Mengawal Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045

BACA JUGA:Quo Vadis Kapasitas Kebijakan MBG

Kondisi itu menunjukkan bahwa evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengelolaan MBG menjadi sebuah keharusan. 

Persoalannya tidak hanya pada teknis distribusi atau menu makanan, tetapi lebih dalam bagaimana model pengelolaan yang digunakan, apakah sebaiknya swakelola oleh sekolah atau diserahkan kepada pihak ketiga?

SUBSTANSI MBG

Ada banyak hal yang bisa dicapai dengan program MBG. Setiap murid akan mendapatkan tambahan gizi yang cukup untuk menunjang proses pembelajaran dan tumbuh kembangnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: