Terjebak Romantisme Sejarah dalam Branding 'City of Heroes': Catatan untuk Hari Pahlawan 2025
ILUSTRASI Terjebak Romantisme Sejarah dalam Branding 'City of Heroes': Catatan untuk Hari Pahlawan 2025.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PADA era urbanisasi dan kompetisi global antarkota, pencitraan kota (city branding) menjadi sebuah alat penting dalam membentuk citra, menarik investasi, dan membangun rasa memiliki warganya. Kota bukan hanya entitas administratif, tetapi juga ruang simbolis yang mengandung narasi, imajinasi, dan memori kolektif. Hal itu juga berlaku bagi Surabaya, yang dikenal luas sebagai City of Heroes (Kota Pahlawan).
Julukan itu merujuk pada peristiwa heroik tahun 1945, ketika warga Surabaya melawan pasukan sekutu dan Belanda.
Narasi itu menjadi identitas utama kota, diabadikan dalam monumen, museum, nama jalan, hingga festival tahunan. Strategi tersebut berhasil menanamkan identitas kuat dalam benak warga dan publik nasional.
BACA JUGA:Surabaya Heningkan Cipta Peringati Hari Pahlawan di Jalanan Kota!
BACA JUGA:Tiga Generasi Emas, Satu Napas Perjuangan: Ilmu, Keikhlasan, dan Pengabdian untuk Negeri
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya telah mengubah Surabaya. Surabaya kini bukan hanya kota sejarah, melainkan juga kota industri, pelabuhan internasional, pusat pendidikan, dan mulai menapaki jalur kota digital.
KETIKA SEJARAH MENJADI SIMBOL BEKU
Pierre Nora, dalam konsep lieux de memoire (tempat ingatan), menjelaskan bahwa modernitas telah memisahkan pengalaman hidup dari ingatan kolektif. Untuk menjaga memori, masyarakat modern menciptakan simbol-simbol: monumen, museum, perayaan.
Surabaya adalah contoh nyata dari politik ingatan itu. Namun, ketika simbol dipertahankan tanpa reinterpretasi, ia kehilangan fungsinya sebagai sumber inspirasi, lalu berubah menjadi ritual yang kosong. Sejarah menjadi objek nostalgia, bukan energi kreatif.
BACA JUGA:Emil Dardak: Hari Pahlawan Momentum Perkuat Gotong Royong Masyarakat
Sejalan dengan itu, Henri Lefebvre menegaskan bahwa ruang kota diproduksi melalui proses sosial. Identitas kota tidak hanya ada di dalam arsip, tetapi terwujud di jalanan, bangunan, dan tata ruangnya.
Branding Kota Pahlawan telah menciptakan ruang yang sarat simbol masa lalu, tetapi minim ruang untuk narasi kontemporer. Akibatnya, banyak potensi warga kota –terutama generasi muda, inovator, kreator budaya –merasa tidak terwakili dalam citra kota mereka sendiri.
Kevin Lynch dalam bukunya, The Image of the City (1960), mengajak kita melihat bagaimana warga menciptakan peta mental tentang kotanya melalui landmark yang dimilikinya. Di Surabaya, landmark heroik sangat dominan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: