Harian Disway di China International Press Communication Center (CIPCC) (106): Meja Panjang Suku Hani

 

Sejak itu, festival-festival seni mulai digelar rutin. Tiga tahun berturut-turut, desa itu menjadi tuan rumah China Honghe Butterfly Valley Art Festival. Mengundang lebih dari 130 ribu wisatawan dan mencetak pendapatan lebih dari 100 juta yuan.

 

Di tengah perkembangan itu, tradisi meja panjang tetap menjadi inti identitas.

 

Begitu kami duduk, hidangan langsung memenuhi meja. Ayam kampung. Sayur-mayur dari ladang warga. Daging yang dimasak sederhana. Dan tentu saja nasi ketan aneka warna—merah, kuning, ungu—yang dimakan dengan cara mencocolkan pada gula. Rasanya lembut dan manis, cocok dengan udara dingin siang itu.

DUA PEREMPUAN HANI menyiapkan hidangan untuk tradisi meja panjang.-Doan Widhiandono-

 

Minuman yang mengalir dari gelas bambu adalah rice wine. Seperti air fermentasi dalam pembuatan tape ketan di Indonesia. Tidak keras. Tapi cukup menghangatkan. Gadis-gadis berpakaian khas suku Hani menuangkan arak itu—juga the—dengan senyum.

 

Dalam tradisi Changjieyan di banyak desa Hani, meja biasanya ditata panjang dengan “kepala naga” dan “ekor naga” di ujungnya. Yang menjadi kepala naga dan ekor naga itu adalah orang yang dituangkan. Yang biasanya memberi sambutan singkat, juga mengajak bersulang.

 

Bagi komunitas agraris seperti Hani—yang hidup di lanskap terasering Honghe, situs Warisan Dunia UNESCO—ritme makan bersama itu sejalan dengan cara mereka merawat hubungan sosial. Hidangan tidak dilihat sebagai fasilitas individual, melainkan kontribusi untuk kelompok.

 

Kabut siang itu tidak membuat suasana di sekitar meja menjadi dingin. Tetapi suara tawa dan denting gelas membuatnya kehangatan tetap terjaga. Tidak ada dekorasi khusus. Tidak ada protokol rumit. Justru kesederhanaan inilah yang membuat tradisi tersebut bertahan.

Sumber: