Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (3): Buku Harus Masuk Jasa Publik, Biar Bebas Pajak

Urgensi Revisi UU Perbukuan Nasional (3): Buku Harus Masuk Jasa Publik, Biar Bebas Pajak

Ketua Komisi XIII Willy Aditya sedang belanja di Toko Buku Kobam, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 7 September 2025.-Dok. Willy Aditya-

Buku masih diperlakukan layaknya barang mahal. Kertas dipajaki hingga 22 persen, PPN buku sebesar 11 persen. Rantai produksi yang rapuh itulah yang membuat Komisi XIII DPR RI mengusulkan revisi Undang-Undang Perbukuan. Bahkan, mengusung prinsip no tax for knowledge. 

Rencana revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan pelan-pelan mulai memperlihatkan arah politiknya. Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya mendorong revisi itu agar membebaskan buku dari pajak.

Usulan itu mungkin terdengar agak utopis. Mengingat persoalan di lapangan jauh lebih kusut. Industri perbukuan Indonesia menggeliat dalam kondisi yang rapuh. Harga buku terus terdorong naik. Terutama karena beban pajak kertas 22 persen dan PPN buku sebesar 11 persen.

Apalagi, untuk penerbit kecil dan yang sedang merintis. Angka-angka itu segera terbayang sebagai kerugian. Namun, Willy mengingatkan bahwa negara sebenarnya telah membuka celah insentif. 

Ia menyebut bahwa PPN untuk pembelian buku sudah ditetapkan nol persen melalui peraturan menteri keuangan. Begitu pula untuk sejumlah kategori impor buku.

Meski begitu, implementasi di lapangan sering timpang. Masih ada kasus-kasus buku impor yang dipungut pajak, terutama kiriman pribadi seperti buku milik eks mahasiswa dari luar negeri.

“Tentu kita tidak bisa gebyah uyah semua pajak kertas dihapus. Namun kita mengusulkan pajak kertas untuk industri buku untuk literasi yang diberi penghapusan,” kata Willy saat dihubungi Harian Disway pada Selasa, 9 Desember 2025. 


Infografis penerbit buku dan produksi buku di Indonesia.-Arya Firman-Harian Disway-

Saat ini, yang sudah berlaku adalah nol persen PPN pembelian buku di toko buku. Nah, imbuh Willy, itulah yang harus diperkuat di dalam UU Sistem Perbukuan. Sehingga lebih mengikat dan tidak mudah dibatalkan pemerintah berikutnya. 

Jika konsisten diadopsi, buku akan ditempatkan sebagai jasa publik yang memerlukan perlakuan fiskal khusus. Seperti layanan kesehatan atau pendidikan dasar.

Revisi UU Perbukuan juga mencoba menjawab akar persoalan lain. Yakni soal subsidi negara yang selama delapan tahun terakhir tersedot terutama ke buku pelajaran.

Masalah yang kerap disebut sebagai dikotomi antara buku diktat sekolah dan buku umum itu, menurut Willy, merupakan cacat mendasar dari UU 2017. 

Ia menilai negara selama ini sibuk membeli buku pelajaran dalam proyek-proyek kurikulum. Tetapi, mengabaikan buku umum. Padahal buku umum lah yang sesungguhnya menghidupkan ekosistem pengetahuan dan keberagaman gagasan.

Dalam draf perubahan, arah subsidi akan diperluas ke seluruh rantai pasok buku. Mulai dari industri kertas, percetakan, penerbit, penulis, penerjemah, editor, ilustrator, layouter, hingga toko buku. 

“Ke sanalah subsidi dan afirmasi diarahkan,” ujar politikus Partai Nasional Demokrat itu. Hal tersebut menunjukkan perubahan paradigma. Seperti pendekatan yang selama ini lebih banyak dijumpai di negara-negara Skandinavia yang literasinya kuat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: