Arti Pemilu 2024 bagi Papua: Menari dan Menyanyi Yamko Rambe Yamko

Kamis 08-02-2024,16:14 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Kita pasti merasakan gelombang cinta menyongsong hari-hari mendatang pada setiap waktunya tentang Papua, lebih dari siapa pun. Penguasa negara bersegeralah “menyanyikan kebijakan” bersama dengan panduan 255 tetua adat yang memanggul amanat menjaga tanah Papua.  

Inilah Papua, rahim semesta yang menurut referensi agamawi yang disebut cikal-bakal kehidupan. Bumi Papua memiliki kesahihan sebagai manifestasi nirwana yang digambarkan dalam Kitab-kitab Suci. Inilah bumi yang sesunguh-sungguhnya sebagaimana digambarkan Tuhan sejak dalam pikiran-Nya.  

Catatan-catatan para ilmuwan dari zaman yang lampau sejak masa-masa Atlantis-Limuria maupun yang lebih muda sekelas Babilonia-Mesopotamia-Persia-Romawi-Yunani.

Pada kisaran Eropa-Amerika-India-Tiongkok-Australia memberikan kesaksian betapa Papua telah menorehkan kekaguman yang tidak pernah diimajinasikan sebelumnya sampai datangnya “investor yang terkesankan sebagai predator”.

Gunung yang menjulang dikeruk tanpa batas. Mineral dan segala batuan mulia itu dirampok secara legal atas nama hukum dan pergaulan antarbangsa. Undang-undang dibuat untuk membenarkan kelakuan “menyita aset Ibu Pertiwi”. Sungguh, segala kekayaan tambang di Papua dapat memenuhi kebutuhan hidup semua bangsa.

Adalah paradoks apabila daerah kaya tambang ini ternyata memiliki cerita penderitaan karena negara mengalami “amnesia konstitusional”.

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 telah menormakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 

Kematian massal yang pernah terjadi di Papua yang disebabkan “kondisi alam maupun kesehatan yang buruk” sangat terang mencerminkan rendahnya kinerja ekologis negara.

Neraca kejadian ini mengingatkan saya pada buku Roman Papua yang berjudul Isinga karya Dorothea Rosa Herliany (2015). Roman yang mengisahkan derita dan perjuangan kaum isinga (ibu) atau perempuan di Papua melalui gambaran yang “eksotik” sekaligus menghadirkan elegi. 

Hatimu Hatiku

Kepiluan seolah terekam dalam bongkahan historia “uniknya peradaban” yang dipertahankan atas sebutan “adat yang memikat”, padahal ini adalah soal “minimnya perlakuan” yang menjadi tugas negara untuk meningkatkannya.

Atas nama humanisme dan pesan perjalanan sebuah era, tentu kita harus merasa terpanggil menata orde yang egaliter melalui pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Dalam bahasa insan wilayah kaya tambang yang berkasih-cinta adalah “kita mesti mampu menautkan hati” sebagai sesama warga NKRI: “hat hinda an ninda” (“hatimu hatiku”), hingga dukamu dukaku.

Tentu saja lagu mistis bagi pemuda yang “kasmaran” itu harus dibaca dalam narasi kebangsaan bahwa rakyat Papua tidak elok hidup miskin dan terlunta-lunta. Bukankah Papua memiliki kekayaan tambang yang tidak tertandingi oleh pulau mana pun di Nusantara?

Adalah suatu keganjilan apabila kekayaan itu justru menimpuk daya dukung dan daya tampung lingkungan di ekosistem Gunung Grasberg maupun Danau Wanagon. Pada momen inilah saya teringat filosofi Suku Amungme yang telah dikenal luas: “Te Aro Neweak Lamo”. 

Ungkapan ini sangat familiar sekaligus menunjukkan tingkat magis yang luar biasa. Suatu penggambaran hubungan yang tiada batas antar warga Papua dengan hamparan tanah dan gunung yang kaya raya.

Kategori :