BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (23): Menjemput Kebaruan
Suasana batin rakyat yang sudah teraduk oleh urusan ekonomi menjadi gembira karena ketemu sanak saudara. Mudik menjadi wahana sosial kemanusiaan yang bergerak di ruang politik berupa kebijakan mudik tanpa biaya karena dianggarkan oleh negara.
Urusan pulang kampung bukan sekadar ritual sosial melainkan anutan ke arah urusan ideologis ataupun historis yang sudah lumrah. Kampung kelahiran tengah memanggil jiwa-jiwa anaknya yang di kota.
Ingatlah bagaimana pada saat tahun-tahun ini mudik sebagai hiburan paling mengena di jiwa rakyat. Sepanjang Ramadan 1446 Hijriah saat ini saya sangat menikmati gerakan umat, ibu-ibu dan anak-anak yang melangkah menuju musala, langgar, surau, dan masjid terdekat.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (22): Merawat Air
Beberapa kawan lama memberikan sebersit kenangan betapa saat-saat pergi menuju Rumah Tuhan yang mewarnai sisik-melik Ramadan amatlah membekas. Berpuluh tahun peristiwa berjalan beriring guna meramaikan Tarawih ternyata menyiratkan nilai dan menggelarkan tikar hikmah paseduluran yang mengesankan.
Anak-anak melanjutkan tradisi bertarawih yang terkadang guyon-gegojekan yang menyelingi. Suara anak-anak itu manabuh lubuk hati kekhusyukan salat tetapi tidaklah membatalkannya. Karena suara anak-anak itu bukanlah “penistaan” melainkan buncahan keceriaan yang dipanggul dalam kenangan sepanjang hayatnya.
Untuk itulah kehadiran anak-anak yang meramaikan tempat-tempat terawih biarlah demi membangun “sepasukan” Generasi Muslim (GM) yang kelak tetap memakmurkan masjid-masjidnya. Gang-gang sempit ternyata terasa longgar dalam jejak orang sembahyang, termasuk di kampung-kampung nun jauh dari metropolitan.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (21): Tepukan Sang Resi
Gemerlap mukena yang memanjang memutih dengan kelebat ke kanan dan ke kiri mengikuti gerak tangan pengenanya, terpotret seperti labirin yang mengabarkan “jalan surga”.
Mukena itu seperti sayap-sayap merpati putih yang amat tertata. Iringan itu mengingatkan pada “ajaran sai” di kala Siti Hajar menempuh takdirnya “mendaki dan menuruni” Bukit Shofa dan Marwah. Betapa kelebat mukena itu menyuarakan damainya batin dan energiknya raga penyusur “ihdinashshiratal mustaqim”.
Belalak mata tidak bisa berdusta. Dalam persaksian di jalan-jalan media sosial, di ruas-ruas pinggiran maupun jantung perkotaannya, dalam pekan-pekan ini terus berkelebat spanduk-spanduk yang “menari ditiup angin” dalam selongsong “festival kain” yang belum kupahami: sebagai kebencian ataukah kewaspadaan.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (20): Mencari Surabaya saat Ramadan
Saya mengerti betapa luka menghunjam dalam, menyayat perih. Ucap duka dan doa bersama lintas iman, bahkan saya gelar dengan “telungkup doa keselamatan” sambil mengkristalkan tekad menjaga daerah terbebas dari ujaran kebencian.
Atas gelegak turunnya daya beli rakyat itulah semua orang beradab dituntun tetap menjaga nalar sehat yang terawat tidak mudik dengan vulgar. Kenapa, karena ada yang telah berjalan dengan senyap.
Mudiknya diberangkatkan seperti kafilah. Anak istrinya disuruh mudik dengan metode khusus”. Alhamdulillah berhasil. Itulah mudiknya keluarga “kolega”. Bergiliran diboceng sepeda motor bututnya.
Bagi sebagian orang, mudik bukan pilihan yang mudah. Ada yang terkendala pekerjaan, kondisi keuangan, atau alasan lain yang membuat mereka harus tetap tinggal di kota. --iStockphoto