Mengunjungi Rumah Duka Grand Heaven Surabaya (2): Kerasan Kerja dan Tidur di Kamar Jenazah

Mengunjungi Rumah Duka Grand Heaven Surabaya (2): Kerasan Kerja dan Tidur di Kamar Jenazah

Muhammad Zohir menunjukkan lemari pendingin untuk menyimpan jenazah.-Boy Slamet-Harian Disway-

Kamar jenazah ada di lantai dua. Ruangan tak pernah kosong. Petugas harus standby karena jenazah datang tak mengenal waktu. Beberapa orang memilih tidur di sana setiap hari. 

"MAU langsung ke kamar jenazah?" ucap Care Advisor Grand Heaven Surabaya Ferry saat ditemui di ruang tunggu, Rabu (19/5) siang. Pria dengan nama satu kata itu lalu mengarahkan kami ke lift di dekat meja resepsionis.

Lobi gedung dengan desain interior neo-klasik modern itu masih sepi. Petugas resepsionis menyapa kami dengan ramah. Lift terhubung dengan tempat parkir di lantai dua. Mobil jenazah dengan merk Hyundai, Volkswagen, dan Mercedes-Benz berjajar rapi di depan kamar jenazah.

Pintu ruangan yang sangat futuristis itu kedap udara. Warnanya silver, seperti brankas bank. Ferry membukanya dengan memasukkan pin dan sidik jari. Pintu lalu bergeser secara perlahan.

Bed jenazah berjajar rapi di sepanjang lorong ruangan itu. Lantai hingga dindingnya sangat bersih. Aroma bunga tercium begitu kami masuk. Kamar jenazah itu jauh dari kesan seram. 

Di dekat sudut ruangan terdapat sembilan lemari pendingin yang hampir seluruh materialnya terbuat dari stainless steel. Jenazah bisa dititipkan beberapa hari di sana sesuai tanggal yang diinginkan keluarga yang berduka. 

Petugas kamar jenazah menyapa Ferry yang berjalan paling depan. Siang itu petugas jaga lengkap. Dua perempuan dan dua lelaki. Mereka sangat akrab dengan Ferry. Seperti tak ada sekat antara atasan dan bawahan. "Ada apa ini, Pak?" tanya kata perias jenazah, Muhammad Zohir yang agak terkejut dengan kedatangan kami. 

Mereka memanggilnya lelaki muda itu dengan nama Eldin. Ia sudah bekerja sejak hari pertama Grand Heaven beroperasi akhir tahun lalu. Ferry memintanya menerangkan apa saja tugas tim di kamar jenazah. 

Begitu jenazah turun dari ambulans, mereka memasukkannya ke ruang treatment. Jenazah disimpan di lemari pendingin sambil menunggu proses berikutnya. Di samping lemari es itu terdapat ruangan yang dipisahkan tirai.

Di sanalah jenazah dimandikan. Terdapat sampo, sabun, hingga handuk. Setelah bersih, jasad dipindahkan ke tempat tidur rias. 

Muhammad Zohri (kiri) dan Anis Fitriani, perias dari Grand Heaven, menunjukkan alat rias mereka.
Foto: Boy Slamet-Harian Disway

Eldin mengeluarkan dua kotak peralatan riasnya. Semua dari merk terkemuka. "Kalau jenazah laki-laki biasanya cepat. Cuma 15 menit," kata pria kelahiran 1997 itu.

Jenazah perempuan lebih rumit. Setelah makeup, proses selanjutnya adalah menata rambut. Bisa disanggul atau dicatok bergelombang. Semua sesuai permintaan keluarga. "Ada juga yang minta supaya tidak dirias," lanjut perias jenazah yang dikhususkan selama dua bulan di Johnny Andrean itu. 

Beberapa keluarga meminta agar kuku jenazah diwarnai dengan kuteks. Sebagian lagi tidak. Warna lipstik yang disediakan juga beragam. 

Terkadang jenazah datang dengan kondisi luka. Tim perias harus melapisinya dengan foundation tebal hingga luka tersamarkan. 

"Kami juga punya dokter khusus yang tugasnya menyuntik formalin pada jenazah," timpal Ferry. Namun, proses pengawetan tidak selalu dilakukan. Semua tetap tergantung permintaan keluarga mendiang. 

Eldin sebenarnya penakut. Ia tidak pernah melihat jenazah secara langsung. Pengalaman merias orang hidup juga tidak pernah. 

 

Lalu mengapa ia mau menerima pekerjaan itu? Seorang teman menawarkan pekerjaan di Grand Heaven Jakarta. Ia tertarik meski agak ngeri-ngeri sedap. 

 

Eldin pun bercerita dan meminta izin ke orang tuanya. Mereka kaget karena tahu Eldin sangat penakut. Namun, keputusan sudah bulat. Kesempatan tak datang dua kali. 

 

Untuk menghilangkan rasa takut itu, teman-teman perias di Jakarta menguncinya di kamar jenazah. Lampu dimatikan. Eldin ’’diospek’’.

 

Awalnya ia takut dan panik. Pikiran melayang ke mana-mana. Semua gelap. Setelah beberapa lama, ternyata tidak terjadi hal-hal aneh. Eldin sekuat tenaga melawan rasa takutnya. 

 

Masa training selama satu pekan di Jakarta dilewati dengan mudah. Setelah rasa takut hilang, Eldin diberi kesempatan merias janazah pertamanya. Hari pertama jenazah laki-laki yang relatif mudah. Dua hari kemudian ia merias jenazah perempuan. Eldin pun langsung dikirim ke Surabaya.

 

Tak ada tempat tinggal di kota pahlawan. Eldin sejatinya bisa kos. Namun, ia memutuskan untuk menginap di Grand Heaven yang gedungnya mirip hotel bintang lima itu. 

 

Apakah ada kamar khusus? "Enggak. Ya, tidur di kamar jenazah ini," ucapnya lalu tertawa. Ada banyak kasur berjejer di sana. Eldin dan rekan-rekannya bisa pilih yang mana saja. 

 

Ruangannya juga bersih dan nyaman. Apalagi AC ruangan tidak pernah dimatikan. 

 

Semua itu dilakukan atas kemauannya sendiri. Dengan tidur di kamar jenazah, Eldin tidak perlu tergesa-gesa ke tempat kerja jika ada jenazah yang datang dini hari. "Datang langsung ditangani. Enggak pakai lama. Kadang ada yang datang pukul 02.00 pagi," lanjut mantan sales promotion di salah satu departemen store itu.

 

Terkadang mereka tidur ditemani jenazah di lemari pendingin. Bagi orang awam, itu terdengar menyeramkan. Tapi urat takut Eldin dan teman-temannya sudah telanjur putus. Dan sepertinya sudah tidak bisa disambung lagi. (Salman Muhiddin)

 

Baca juga:

 

Mengunjungi Rumah Duka Grand Heaven Surabaya (1): Sering Dikira Hotel Bintang Lima, Rp 100 Juta Semalam

 

Mengunjungi Rumah Duka Grand Heaven Surabaya (3): Benar-Benar OTW to Heaven

 

Mengunjungi Rumah Duka Grand Heaven Surabaya (4): Siupan Ratusan Juta Demi Arwah Leluhur

 

Mengunjungi Rumah Duka Grand Heaven Surabaya (5-habis): Uang Santunan bisa Rp 3,168 Miliar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: