Series Jejak Naga Utara Jawa (10): Kerasnya Kehidupan Glodok
Gerbang Kawasan Glodok Pancoran yang ikonik.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Menelusuri lorong-lorong kawasan Glodok, Jakarta Barat, adalah sebuah perjalanan panjang. Melintasi jarak, pun waktu. Tim Ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway menghabiskan seharian penuh mengelilingi Glodok pada Minggu, 15 Februari 2023. Tentu, tak seluruh lorong bisa dijalani. Seperti juga tak seluruh kisah sejarah mampu tertangkap.
SIANG itu terasa begitu panas. Matahari memang tak menyengat di atas kepala. Tetapi, mendung tipis yang menggantung membuat cuaca makin gerah.
Dengan keringat yang mulai membasahi tubuh, kami mengawali perjalanan dari Gedung Candra Naya, bekas rumah Mayor Tionghoa, yang kemegahannya masih terasa hingga kini. Bangunan tua yang terimpit hotel, apartemen, plus kedai kopi modern itu akan kami ceritakan dalam seri-seri berikutnya. Tunggu…
Gedung Candra Naya terletak di Jalan Gajah Mada. Dari situ, Tim Ekspedisi Harian Disway melangkah ke utara. Melewati gang-gang sempit yang mulutnya pasti punya pagar besi. Tinggi. Masih terasa kukuh meski kentara bahwa itu bukan pagar baru.
’’Ya, itu sisa kerusuhan 98 dulu,’’ ucap Ng Andre, aktivis Pecinan Glodok, yang kami temui di ujung hari.
Kalimat Andre itu merujuk pada peristiwa pilu pada Mei 1998. Inilah kerusuhan rasial yang terjadi pada 13-15 Mei 1998, di pengujung rezim Orde Baru. Toko-toko milik warga Tionghoa dijarah dan dibakar. Belum lagi cerita tentang pembunuhan atau pemerkosaan perempuan Tionghoa.
Itulah yang kemudian membuat warga Tionghoa membentengi diri. Membangun pagar tinggi di ujung kawasan perumahan mereka. Untuk mencari selamat tatkala ada kerusuhan yang pecah.
Kondisi itu memang memilukan. Seperti mengulang sejarah yang sudah berusia lebih dari 250 tahun. Tatkala warga Tionghoa di Batavia harus tinggal di daerah enclave yang lantas menjadi pecinan. Mereka harus berdiam di situ dan hanya yang punya izin Belanda yang boleh keluar dari kawasan tersebut.
Sepanjang perjalanan kami, kentara betul bahwa warga Tionghoa memang mendominasi kawasan itu. Sejak lama. Jejak mereka tertinggal pada karakter rumah, kelenteng tua, plus aktivitas mereka. Yakni, berdagang.
Kami terus merayapi jalanan kawasan Glodok yang sempit itu. Menyelinap di antara gedung-gedung besar yang membentuk cakrawala Jakarta.
BACA JUGA: Jawa-Tionghoa Harus Dipecah-belah
Nama-nama jalan di kawasan itu khas. Seperti mantera yang bisa didaraskan untuk menggapai sebuah tujuan adiluhung: Jalan Kemurnian, Jalan Keadilan, Jalan Kesederhanaan, hingga Jalan Kemenangan.
Melewati lapak-lapak yang menjual aneka buah, pernik-pernik Imlek, manisan buah, sampailah kami pada tempat ikonik tersebut. Yakni, gapura besar berwarna kelabu. Ia ada di ujung timur Jalan Pancoran. Gapura khas pecinan.
Atapnya berwarna merah bata dengan sedikit hiasan berwarna hijau. Ujungnya melengkung, mirip atap kelenteng. Gerbang beton itu penuh dengan relief elok. Ada long (龙) yang merayap pada empat tiang gapura yang kukuh. Aneka bentuk stilasi awan dan sulur-suluran membikin gerbang itu makin artistik.
Diresmikan oleh Gubernur Anies Baswedan pada 30 Juli 2022, gapura itu memang menjadi ikon anyar kawasan Glodok-Pancoran. Gapura naga itu langsung menyapa orang dengan kalimat yang terukir dengan huruf berwarna keemasan pada sebentuk bidang berwarna scarlet. Merah kecokelatan. Bunyinya: Selamat Datang; Kawasan Glodok Pancoran-Chinatown Jakarta.
Gerbang itu memang dibiarkan telanjang dalam warna semen. Abu-abu. Tidak dicat dengan warna merah-kuning-hijau khas gerbang Chinatown di wilayah lain.
Lia, pengamen barongsai yang beraksi di jalanan Glodok.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Dan bukan gerbang itu yang menguatkan identitas kawasan itu sebagai pecinan. Tetapi aktivitas bisnis yang ada di sepanjang jalan yang mengarah ke barat laut tersebut.
Ya, Jalan Pancoran penuh lapak-lapak. Pedagang makanan berbagi tempat dengan penjual pernik-pernik Imlek. Toko buah berjejer dengan pedagang makanan. Semua berbaur menjadi satu membentuk roda perekonomian Glodok.
Suasana cukup ramai, sepekan sebelum Imlek tersebut. Di antara lalu lalang pembeli, sesekali ada pengamen barongsai yang menunjukkan aksi sederhana. Demi selembar-dua lembar rupiah.
’’Ini barongsai versi ngamen. Kalau untuk main undangan ada lagi. Lebih gede. Komplet satu grup,’’ kata Lia, perempuan 29 tahun yang kami jumpai di tepi Jalan Pancoran. Lia, warga Kalijodo yang tak mau menyebutkan nama lengkapnya itu memang pemain barongsai. Dia biasa tampil pada beberapa perhelatan kecil. Kalau tidak ada tanggapan, dia menyusuri jalanan membawa kepala barongsai untuk menyambung hidup.
Tionghoa dan perniagaan memang begitu lekat. Meskipun, kata Ng Andre, itu tidak menggambarkan citra warga Tionghoa secara keseluruhan. ’’Memandang Tionghoa jangan hanya ekonomi,’’ ucap lelaki kelahiran 11 Februari 1973 itu.
Bagi Andre, ada banyak yang bisa dikomunikasikan kepada khalayak terkait warga Tionghoa itu. Mulai budaya, kuliner, aktivitas kerohanian, hingga toleransi… (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
SERI BERIKUTNYA: Glodok Bawa Wajah Kebinekaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: