Menyambut Panglima Baru
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto merotasi dan mutasi 76 jabatan strategis di lingkungan TNI. --
PRESIDEN JOKOWI telah menominasikan KASAD Jenderal TNI Agus Subiyanto sebagai calon tunggal Panglima TNI. Beberapa saat kemudian, DPR pada Senin, 13 November 2023, juga telah menyetujui Agus menggantikan Laksamana TNI Yudo Margono yang segera memasuki masa pensiun dua pekan ke depan. Ada beberapa prioritas yang perlu diemban oleh pria yang sebelumnya menjabat Wakasad ini. Terutama dalam tahun politik 2024 yang tinggal dalam hitungan hari saja.
Pertama, Panglima TNI yang baru nantinya dapat membuktikan bahwa tuduhan bahwa ia termasuk salah satu dari “all president’s men” dibuktikan dengan kerja profesional dan netral. Memang, Agus merupakan perwira yang pernah menjabat Dandim 0735 Surakarta pada tahun 2009 hingga 2011 dan sebagai Danpaspampres pada tahun 2020 hingga 2021 sehingga memiliki kedekatan dengan Presiden Jokowi.
Namun momentum Pemilu 2024 menjadi pertaruhan profesionalitas dalam melihat peran kuat aparat TNI bersama-sama dengan Polri dalam menjaga situasi nasional tetap kondusif. Keterlibatan TNI dalam mengamankan Pemilu harus dikaji untuk menjaga jarak tidak terlalu dekat dengan penyelenggaraan.
Kedua, modernisasi TNI yang berakhir pada tahun 2024 dengan susunan Minimum Essential Forces (MEF) dari tahun 2004 perlu untuk diperbarui. Legasi dari Kementerian Pertahanan dalam modernisasi alutsista khususnya di udara dengan pengadaan Rafale dan Mirage perlu untuk dievaluasi ulang apakah menjadi efektif dalam melindungi lingkungan strategis wilayah udara kita.
BACA JUGA:Agus Subiyanto Sah Jadi Panglima TNI
BACA JUGA:Pelantikan Jenderal Agus Subiyanto sebagai KSAD: Reuni Solo
Mengingat baru-baru ini TNI juga mendapatkan musibah dengan jatuhnya pesawat Super Tucano di wilayah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ke depan, kebutuhan pertahanan yang semakin kompleks tidak hanya ancaman perang fisik, melainkan ada keperluan untuk mengantisipasi perang siber dan perang informasi. Hal ini juga disertai dengan perombakan tentara yang ranahnya tidak hanya pada lingkup ancaman yang ada pada 1 abad yang lalu.
Ketiga, perkembangan teknologi alutsista terkini semakin disruptif dengan adanya alat-alat bersifat unmanned dengan beroperasi di darat dan laut seperti UAV, USV, dan UUV. Kemudian misil hipersonik membuat peperangan yang ada di satu dasawarsa ke depan akan berbeda dengan satu dasawarsa ke belakang. Aspek kecepatan, presisi, dan lintas dimensi menjadi dominan ketika peperangan bergeser pada area yang bersifat abu-abu. Untuk itu kembali pada poin MEF, sebaiknya dapat diarahkan untuk menangkap perkembangan-perkembangan ini.
Keempat, mengenai postur pertahanan yang masih belum berimbang di antara ketiga angkatan. Terdapat isu yang perlu ditangani. Tentang validasi organisasi seperti Korps Marinir dan Kopasgat yang idealnya ditingkatkan dari fungsinya sebagai komando pelaksana menjadi komando pembinaan dan doktrin. Hal ini dapat berimbas pada naiknya pangkat dari seseorang yang menjadi Komandan Korps Marinir dan Kopasgat dari Mayor Jenderal (Marinir) dan Marsekal Muda menjadi Letnan Jenderal (Marinir) dan Marsekal Madya atau bintang tiga. Sementara ini, hanya Angkatan Darat yang memiliki Komando Strategis Angkatan Darat atau Kostrad dengan komando pembinaan dan doktrin.
Kelima, berkaitan dengan pertahanan berbasis anggaran yang seharusnya dapat disesuaikan dengan metode lain yakni pertahanan berbasis kebutuhan. Kebutuhan untuk sinkronisasi kebijakan dan anggaran seyogianya mengikuti urgensi dari kebutuhan Indonesia untuk memperkuat ketiga matra.
Berhubung dalam strategi pertahanan nusantara, perkuatan perlu disokong dalam menciptakan konsepsi pertahanan laut dan udara yang menjadi lapis terdepan dalam mengamankan pulau terluar dan ZEE yang belakangan ini menjadi sorotan dengan ancaman yang tidak boleh dipandang sebelah mata dari kekuatan besar seperti Tiongkok di Laut Cina Selatan atau AS yang memegang asas freedom of navigation di seluruh perairan yang dianggapnya perairan internasional.
Keenam, Panglima baru seyogianya memperhatikan kelanjutan dari doktrin Poros Maritim Dunia yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2014 lampau. Kebutuhan untuk menyusun suatu kebijakan pertahanan yang berbasis pada kemaritiman sebagai titik tumpu tentu harus didorong dengan implementasi konsep-konsep dalam strategi maritim sebagaimana disusun oleh Alfred Mahan dan Julian Corbett yakni command of the sea dan sea control.
Kedua hal ini berkaitan dengan postur TNI AL yang sampai saat ini masih ada di level sebagai green water navy yang hanya memiliki kapabilitas untuk berpatroli di wilayah teritorial saja. Ke depan, diperlukan pemimpin visioner yang dapat menggerakkan TNI AL untuk benar-benar menjadi world class navy.
Ketujuh, ancaman dari arah utara seperti Tiongkok atau yang klasik seperti Amerika Serikat membutuhkan satu kepemimpinan yang baik di TNI. TNI dapat membawa Indonesia sebagai game changer, dapat berbentuk meningkatkan diplomasi militer pada kekuatan-kekuatan besar dengan memperluas jejaring kerja sama militer di Super Garuda Shield atau dengan menunjukkan eksistensi dalam menghadapi ancaman yang mengemuka. Pertimbangan yang serius dibutuhkan untuk membandingkan jumlah tank, kapal, pesawat, dan juga perbandingan personal dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia dan lingkungan strategis yang membutuhkan perbandingan apple-to-apple dengan milik negara lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: