January Effect

January Effect

Ilustrasi January Effect. IHSG mencatatkan rekor tertinggi pada Januari 2024. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dominasi investor lokal tersebut cukup menguntungkan. Sebab, itu menjadikan pasar modal Indonesia tidak terlalu rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi global atau perubahan pasar utama seperti Amerika Serikat (AS). Karena itu, di tengah tingkat inflasi dan bunga di AS yang melonjak tinggi, Bursa Efek Indonesia tetap baik-baik saja.

Di emerging market, biasanya pasar modal sangat volatile. Itu terutama karena dominannya investasi asing yang kebijakannya sering berubah seiring kondisi ekonomi global. Kondisi AS, misalnya. Saat tingkat bunga terus meroket dari 0,25 hingga level 6 persen, yield obligasi juga terkerek naik.

Akibatnya, banyak fund manager berpikir untuk mengalihkan investasinya di emerging market seperti Indonesia ke pasar AS. Maka, mereka banyak menjual saham dan obligasinya sehingga mengakibatkan indeks pasar modal dan harga obligasi jatuh.

BACA JUGA: Kenaikan Upah

Tapi, itu tak terjadi di Indonesia. Di tengah terus meningkatnya tingkat bunga The Fed sejak 2022, IHSG juga terus mencatat kenaikan. Bahkan, bisa mencatatkan rekor indeks dan kapitalisasi tertinggi sepanjang sejarah. 

Saat ini tingkat bunga The Fed masih sangat tinggi, 5,50 persen. Itu mengakibatkan kredit pemilikan rumah (KPR) di AS mengalami tekanan luar biasa. Bunga KPR tercatat paling tinggi dalam 20 tahun terakhir ke level 7,09 persen. Itu seiring dengan kenaikan yield US treasury yang juga mencatatkan rekor tertingginya akhir 2023.

Data SID di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan harapan tinggi terhadap pasar modal Indonesia ke depan. Sebab, dari sisi jumlah, investor muda di bawah 30 tahun sangat mendominasi, yaitu 57,04 persen. Meski saat ini nilai investasinya masih kecil –sekitar Rp 50,51 triliun– literasi dan inklusi pasar modal itu bisa menjadi bekal terus berkembangnya pasar modal di tahun-tahun mendatang. 

BACA JUGA: Transaksi di Bursa Karbon

Dari sisi nilai investasi, pasar modal masih ”dikuasai” investor tua. Usia lebih dari 60 tahun. Data menunjukkan bahwa nilai investasi mereka sangat dominan, yaitu mencapai Rp 996 triliun. Padahal, dari sisi jumlah, mereka hanya 2,88 persen investor. Itu disusul investor dengan rentang usia 50–60 tahun (5,44 persen) yang total investasinya mencapai Rp 250 triliun. 

Jika pasar modal dirasa cukup menjanjikan, investor muda itu bisa terus meningkatkan investasinya di BEI. Dengan begitu, ke depan pasar modal akan menjadi tempat investasi utama mereka yang pada akhirnya juga akan menggairahkan pasar modal secara keseluruhan. 

 

Didorong Saham Prajoga

Bergairahnya pasar modal juga tak lepas dari suksesnya penawaran saham (IPO) tahun 2023. Salah satunya kelompok usaha milik Prajogo Pangestu, BREN dan CUAN (Petrindo Jaya Kreasi). Saham CUAN yang baru melantai Maret 2023 telah naik hingga lebih dari 6.000 persen. Saham yang saat IPO hanya Rp 220 per lembar itu kini telah mencapai Rp 13.425 per lembar. 

Sementara itu, saham PT Barito Renewable Energy (BREN), yang melakukan IPO pada Oktober 2023 dengan harga Rp 780, akhir tahun lalu sudah melonjak ke Rp 7.500. Naik 861,54 persen hanya dalam waktu tiga bulan. Saham-saham Prajogo yang lain pun seperti BRPT dan TPIA ikut terkerek naik. 

Kenaikan harga saham-saham perusahaannya itu menjadikan Prajogo menjadi orang terkaya Indonesia versi Forbes. Kekayaan Prajogo mencapai USD 43,5 miliar atau sekitar Rp 674,42 triliun (estimasi kurs Rp 15.504 per dolar AS).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: