Tragedi Politik di Pusaran Post-Truth
ILUSTRASI Tragedi Politik di Pusaran Post-Truth.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
TRAGEDI di Ketapang Laok, Sampang, baru-baru ini, bagi saya, adalah sebuah aib politik. Membuat saya berpikir berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan untuk menuliskannya. Kematian seseorang, dalam keterkaitan konteks pilkada, tidak akan pernah bisa diterima.
Hal itulah yang kemudian menggerakkan saya, dengan hati yang berat, untuk tetap menuliskan ini sebagai sebuah pelajaran pahit dan permenungan fenomena politik di era post-truth.
Tragedi tersebut mengungkap realitas suram bagaimana fenomena post-truth yang mengeksploitasi emosi pemilih telah mengubah kegembiraan demokrasi menjadi dukacita. Tidak ada kekuasaan yang seharga nyawa. Demikian Gus Dur pernah menyampaikan.
BACA JUGA:Kontestasi Politik 2024: Quo Vadis Isu Ekologi dan Politik Hijau
BACA JUGA:Debat Politik: Untuk Siapa?
Bukan sekadar masalah lokal atau cermin ketidaksetaraan sosial ekonomi, ini adalah gejala dari masalah yang lebih mendalam dan sublim –disinformasi yang merajalela di komunitas rentan, bahkan di tengah akses internet yang memadai.
POLITIK DAN POPULISME POST-TRUTH
Istilah ”post-truth”, yang dikenal di abad ke-21 dan menjadi Word of the Year 2016, menggambarkan era di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi opini publik daripada fakta objektif.
Keterpilihan dua kali Trump sebagai presiden Amerika Serikat disebut-sebut juga sebagai penanda fenomena post-truth itu. Newman dan Conrad dalam Post-Truth Populism menyebut fenomena tersebut berkembang melalui disinformasi yang kemudian diperkuat oleh algoritma yang mementingkan keterlibatan (engagement) daripada akurasi fakta.
BACA JUGA:Ketahanan Partai Politik di Tengah Arus Populisme
BACA JUGA:Pilkada Versus Kotak Kosong: Minim Edukasi Politik dan Nihil Pengganda Ekonomi
Media sosial mengisolasi pengguna dalam sebuah ruang gema, memerangkap dalam gelembung filter dan menyuburkan bias kognitif Dunning-Kruger effect¸ memperkuat bias yang sudah ada dan mengaburkan garis antara persepsi dan realitas.
Jean Baudrillard (1981) menuliskan fenomena itu sebagai ”simulacrum” –versi realitas yang terdistorsi tetapi diterima dengan lebih nyata daripada realitas itu sendiri.
Dalam lingkungan hiper-riil itu, salah satunya di tragedi tersebut, bahkan istilah budaya yang netral seperti istilah ”carok”, misalnya, dilepaskan dari akar ontologisnya untuk, sebutlah, kebutuhan viralitas sebuah informasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: