Tragedi Politik di Pusaran Post-Truth
ILUSTRASI Tragedi Politik di Pusaran Post-Truth.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Reuni dan Romantisme Politik: Demi Masa Depan Bangsa?
BACA JUGA:Esoterisme Agama dan Asuransi Politik
Yang lebih menyedihkan, itu juga dilakukan pelaku media arus utama.
Meski demikian, politik dan populisme post-truth tidak hanya merusak diskursus publik, tetapi juga menggerogoti fondasi demokrasi. Ketika narasi menggantikan fakta dan kebenaran menjadi relatif, hal itu membuka satu pintu bagi manipulasi dan eksploitasi yang lebih luas.
Dan, jalan manipulasi tersebut makin lempang dan terbuka lebar dengan algoritma yang berada di balik seluruh platform digital yang ada.
Interaksi dan distribusi informasi di platform digital mutlak dijalankan oleh algoritma. Secara absolut. Tidak mengherankan kalau Benasayag menyebut itu sebagai tirani algoritma, atau … yang melihat demokrasi saat ini adalah demokrasi algoritmik.
BACA JUGA:Akrobatik Politik dan Politik Kebangsaan
BACA JUGA:Tamsil Kisah Adam, Politik Dinasti, dan Etika Berkontestasi
Karena dorongan dan motivasi ke-dikenal-an berada di atas kebermanfaatan, format dan muatan konten yang dibuat selalu ”tunduk” pada algoritma untuk saling berebut viral.
Celakanya, para pemangku kepentingan politik, wabil-khusus parpol dan agen-agennya, menepikan pendidikan politik yang bermartabat demi tujuan politik kekuasaan. Semata-mata karena muatan kebermartabatan sangat sulit mendapat tempat dalam baris algoritma.
Dengan memanfaatkan kerentanan emosional, mereka meramu narasi divisif yang dirancang untuk memolarisasi masyarakat.
Strategi itu merupakan inti dari populisme post-truth, di mana tujuan utamanya adalah dominasi emosional daripada pencerahan. Newman dan Conrad menegaskan bahwa strategi semacam itu mencerminkan tren yang lebih luas dalam politik post-truth, di mana menciptakan musuh menjadi cara efektif untuk mengonsolidasikan kekuasaan.
DILEMA DEMOKRASI DI ERA POST-TRUTH
Implikasi politik post-truth melampaui tragedi individual. Erosi kepercayaan terhadap institusi demokratis, pendalaman perpecahan sosial, dan normalisasi diskursus yang terpolarisasi mengancam struktur dan kohesi sosial kita.
”Populisme post-truth melemahkan fondasi normatif debat publik,” lanjut Newman, ”Menyebabkan demokrasi rentan terhadap ketidakstabilan.” Ketika kebenaran menjadi relatif, akuntabilitas terpinggirkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: