Tragedi Politik di Pusaran Post-Truth
ILUSTRASI Tragedi Politik di Pusaran Post-Truth.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Pemimpin dan institusi kehilangan legitimasi, menciptakan kekosongan di mana manipulasi berkembang. Dan, masyarakatnya terombang-ambing dalam lautan narasi yang saling bersaing.
Percepatan perkembangan teknologi dan digital sangat eksponensial. Namun, hal tersebut tidak lantas membuat kita berpangku tangan dan menerima nasib. Beberapa hal bisa dilakukan.
Pertama, memberdayakan komunitas dengan keterampilan untuk secara kritis menganalisis konten online adalah langkah krusial.
Kedua, platform media sosial harus bisa bertanggung jawab atas peran mereka dalam memperkuat konten yang memecah belah. Kebijakan algoritmik yang transparan dengan fokus pada akurasi dan kualitas informasi sangat penting.
Ketiga, partai politik harus berkomitmen pada kampanye yang etis, mempromosikan dialog berbasis fakta, dan menghindari eksploitasi emosi publik. Pemimpin politik memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik dan memberdayakan konstituen mereka.
Keempat, institusi seperti KPU dan Bawaslu perlu mengambil peran proaktif dalam mencegah manipulasi digital. Kerja sama dengan platform digital untuk mengekang penyebaran disinformasi dan penegakan regulasi kampanye secara tegas adalah langkah yang diperlukan.
Kelima, komunitas harus menjadi bagian tak terpisahkan dari solusi. Peran pemimpin lokal, pendidik, dan organisasi sipil dalam menumbuhkan budaya kritis sangat penting.
Pendekatan akar rumput itu melengkapi inisiatif kebijakan, menciptakan pertahanan berlapis terhadap ancaman post-truth.
Tragedi tersebut bukan hanya luka bagi masyarakat setempat, melainkan juga peringatan bagi kita semua tentang rapuhnya tatanan demokrasi di era post-truth.
Dengan perasaan sedih dan keprihatinan mendalam, saya menyadari bahwa meski berat, kita tidak bisa berdiam diri. Kita harus menghadapi fenomena ini dengan keberanian dan komitmen kolektif.
Ini adalah perjuangan untuk mempertahankan jiwa demokrasi –perjuangan yang tidak boleh kita abaikan. Kita harus memastikan bahwa daya tahan ini tidak goyah di tengah arus disinformasi yang mengancam. (*)
*)Suko Widodo adalah dosen Departemen Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: