Filantropi, Pilar Pembangunan Ekonomi Nasional yang (Masih) Terlupakan

Filantropi, Pilar Pembangunan Ekonomi Nasional yang (Masih) Terlupakan

ILUSTRASI Filantropi, Pilar Pembangunan Ekonomi Nasional yang (Masih) Terlupakan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

INDONESIA sedang terengah-engah. Mengais pemasukan negara dengan menarik napas dalam-dalam, tapi udara yang didapat selalu tipis. Ruang fiskal kian sempit, sedangkan kebutuhan belanja negara terus melebar. Seperti mendaki gunung dengan beban yang makin berat. 

Kabar pemerintah ingin menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen jadi headline beberapa waktu lalu. 

Tujuannya jelas: meningkatkan penerimaan negara. Meski akhirnya ditetapkan hanya untuk barang mewah, pajak barang mewah juga mengundang pertanyaan: apakah kebijakan itu berbasis pada keberlanjutan ekonomi jangka panjang? 

BACA JUGA:Budaya Filantropi

BACA JUGA:Prabowo Tegaskan Pembangunan Ekonomi Bergantung Iklim Usaha Dalam Negeri

Kebijakan itu, meski memberikan dampak fiskal jangka pendek, tidak serta-merta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. 

Sebaliknya, dengan fokus pada pajak barang mewah, pemerintah bisa saja justru mendorong konsumsi barang luar negeri yang lebih terjangkau oleh kelas menengah. Alih-alih mendongkrak konsumsi produk dalam negeri yang lebih produktif.

Kita tahu, pajak memang tulang punggung APBN. Tapi, apakah pemerintah sudah habis akal? Apakah tidak ada cara lain selain menggerus kantong rakyat? Di negeri ini, ada potensi ekonomi yang luar biasa besar, tapi sering terlupakan: filantropi

Filantropi, baik berbasis agama maupun sekuler, adalah praktik kedermawanan yang melampaui sekadar bantuan sesaat. 

BACA JUGA:Potensi Besar Pesantren dan Kaum Santri (2-Habis): Motor Pembangunan Ekonomi

BACA JUGA:Prabowo: Koperasi Adalah Pilar Pembangunan Ekonomi Kerakyatan, Harus Diperkuat dan Dikembangkan

Dalam konteks Indonesia, filantropi memiliki sejarah panjang, dari tradisi gotong royong hingga praktik zakat, wakaf, dan dana corporate social eesponsibility (CSR). Namun, potensi itu sering kali tidak terintegrasi secara optimal dalam strategi pembangunan ekonomi nasional.

Berbicara soal filantropi Islam, misalnya, kita sering terjebak pada gagasan yang sempit. Zakat dianggap hanya untuk membantu fakir miskin. Wakaf identik dengan tanah untuk masjid, madrasah, atau makam. Padahal, konsepnya jauh lebih besar dari itu. 

Ambil contoh zakat. Menurut Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), capaian pengumpulan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lain (ZIS-DSKL) per Juni 2024 mencapai Rp 26,1 triliun atau tumbuh 68,3 persen (yoy).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: