Ramadan Kareem 2025 (28): Merekam Sundayana Nan Tirtasewana

Mudik adalah gerakan kolosal yang spektakuler sekaligus mistis dalam ritme pengajarann batin kaum perindu kampung halaman. --iStockphoto
Cerita “gandrung” yang melegenda sebagai “kristal kuasa” Kerajaan Nabi Sulaiman yang terabadikan dalam Kitab Suci sebagai otoritas peradaban negara yang tidak ada bandingan kehebatannya, sebelum maupun oleh budaya manusia sesudahnya.
Pernikahan Ratu Saba dan Nabi Sulaiman telah mewujudkan dua negara menjadi satu Imperium Global. Namun, itu tidak berlaku di Majapahit dan Pasundan di tahun 1357. Kisahnya menjadi “cinta yang tertikam”.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (20): Mencari Surabaya saat Ramadan
Diyah Pitaloka beserta keluarganya terhempas dalam simbahan luka yang berujung lara yang direguk rakyat sampai kini, akibat tragedi di Lapangan Bubat.
Perkawinan yang gagal ditambah dengan “bumi hangus” keluarga kerajaan Pasundan oleh “ambisi politik yang tidak dibarengi dengan diplomasi katrisnan” dari Gajah Mada itu, ternarasi dalam ingatan sosiokultural yang semakin lama semakin manages di hati rakyat Sunda.
Peristiwa perih yang menghunjam dalam lubuk peradaban dan terus membuncah pada ingatan yang terdongengkan dari generasi ke generasi ini dibungkus dalam “kelambu” Sundayana.
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (19): Ngaji Multifungsi TNI
Dalam lingkup inilah torehan hebat Gajah Mada di tahun yang sama, 1357 dengan menghadiahi Hayam Wuruk melalui keberhasilan Ekspedisi Dompu oleh Laksamana Nala, tidak membuat Sang Raja mengembang senyumnya.
Napasnya tetap ditarik pelan dengan lirih suara Raja Dangdut Rhoma Irama “kegagalan cinta” yang menyemesta. Hayam Wuruk merintih dalam perihnya jiwa atas gelora rindu yang terhuyung pilu dan itu semakin mengelamkan jiwanya.
Karena justru ulah memolitisir cinta dengan “penundukan atas nama kemegahan kerajaan”. Sejak itu Gajah Mada merasa bersalah dan menghaturkan “tebusan ruhaniah” melalui mekanisme Paseradaan Agung (“haul akbar”).
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (18): Banjir yang Terundi
Itu dilakukan untuk mengenang almarhumah Gayatri Rajapatni di tahun 1362 dengan ucap pamungkas yang menyentuh “langit tertinggi” keluhuran budi Hayam Wuruk. Gajah Mada berucap: “an wanten rajakaryyolihulih nikanang dharyya harwa pramada”.
Ekspresi Gajah Mada pada saat mengucap “segala titah Raja tidak boleh diabaikan” dengan menyimpuhkan diri “pasrah bongkokan seluruh pengabdiannya kepada sang Raja”, menurut Muhammad Yamin (1945) sambil membungkukkan diri, penuh khidmat.
Dari sinilah Gajah Mada mengambil “jalan menepi” dari sengkurat politik menempati tanah hadiah Sang Raja di Madakaripura. Gajah Mada topo kumkum menebus salah membasuh luka jiwa raga Sang Noto.
Ada Jalan Prabu Siliwangi di Surabaya.--
BACA JUGA: Ramadan Kareem 2025 (17): Belajar Takwa Semesta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: