UU TNI Bukan Dwifungsi ABRI Gaya Baru, Apa Bedanya?

Ilustrasi RUU TNI-Dall-E-Dall-E
Memiliki pemahaman yang jelas mengenai perbedaan revisi Undang-Undang TNI dengan konsep Dwifungsi ABRI sangat penting, agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dan melakukan aksi demonstrasi anarkis yang didasarkan pada kesalahpahaman.
Revisi UU TNI bukanlah bentuk kembalinya Dwifungsi ABRI, tetapi lebih pada penyesuaian terhadap tantangan keamanan modern serta upaya memperjelas peran TNI dalam menghadapi berbagai ancaman yang berkembang. Setelah mencermati isi pokok-pokok revisi UU TNI, kita dapat menemukan tiga poin perbedaan antara revisi UU TNI dan Dwifungsi ABRI.
Pertama, Dwifungsi ABRI di masa lalu memberi ruang bagi militer untuk berperan dalam bidang politik dan pemerintahan, yang berarti banyak perwira aktif menduduki posisi strategis di lembaga sipil maupun eksekutif, termasuk DPR dan kepala daerah.
Revisi UU TNI tidak mengembalikan peran ini, melainkan hanya mengatur keterlibatan terbatas perwira aktif di beberapa lembaga tertentu yang memiliki kaitan erat dengan sektor keamanan dan pertahanan, yaitu penambahan empat badan/lembaga dalam revisi pasal 47.
Kedua, revisi UU TNI bertujuan untuk meningkatkan efektivitas TNI dalam menghadapi ancaman kontemporer, seperti kejahatan siber, ancaman non-militer, dan perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri.
Dalam era globalisasi, ancaman terhadap keamanan nasional tidak lagi hanya bersifat konvensional, tetapi juga mencakup aspek-aspek seperti keamanan siber, bencana alam, dan ancaman terorisme internasional, yang memerlukan keterlibatan militer dalam batas-batas tertentu.
BACA JUGA:UU TNI Baru Disahkan, 7 Mahasiswa UI Layangkan Gugatan ke MK
BACA JUGA:Puan Maharani Tegaskan Penyusunan RUU TNI Mengedepankan Supermasi Sipil hingga HAM
Ketiga, revisi UU TNI tetap menegaskan prinsip supremasi sipil dan pengawasan demokratis terhadap militer, yang berarti bahwa setiap kebijakan yang melibatkan TNI tetap berada di bawah kendali pemerintah sipil dan diawasi oleh DPR. Tidak ada perubahan yang memberikan kebebasan bagi TNI untuk kembali ke ranah politik atau ekonomi sebagaimana yang terjadi pada era Orde Baru.
Dalam konteks modern, negara memerlukan sistem di mana personel militer dapat ditugaskan dalam jabatan sipil yang berkaitan langsung dengan kepentingan pertahanan dan keamanan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan yang ketat.
Penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil dilakukan melalui mekanisme yang transparan dan mendapat persetujuan Presiden. Karena penempatan perwira aktif tetap dikendalikan oleh Presiden, hal ini bukan sebagai hak politik, melainkan sebagai bagian dari kebijakan pertahanan negara.
Selain itu, perubahan lain dalam revisi UU TNI mencakup peningkatan usia pensiun bagi prajurit, yang bertujuan untuk menjaga efektivitas organisasi dan memanfaatkan pengalaman perwira yang masih bisa berkontribusi bagi negara.
Hal itu berbeda dengan Dwifungsi ABRI era Orde Baru. Pada masa itu, meskipun terdapat aturan mengenai usia pensiun militer, dalam praktiknya terdapat fleksibilitas dalam penempatan dan perpanjangan masa dinas, terutama bagi perwira tinggi yang dianggap memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas.
Implikasi dari kedua kebijakan ini berbeda secara fundamental. Dwifungsi ABRI menyebabkan militer memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah kebijakan negara, mengakibatkan pembatasan terhadap kebebasan sipil, serta mengurangi peran masyarakat dalam demokrasi.
BACA JUGA:Pembahasan Revisi UU TNI Dinilai Tertutup, Puan Maharani: Dalam Pembahasan Selalu Ada Media
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: