Kasus Agus Buntung dan Inovasi Polisi: Dilematis Penjahat Cacat

Kasus Agus Buntung dan Inovasi Polisi: Dilematis Penjahat Cacat

I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung-ist -

Andy: ”Saya meminta kasur medis. Tidak dihiraukan. Saya minta bantuan tenaga medis, butuh 14 bulan mendapatkannya. Saya tidak mengeluh. Sebab, kalau saya mengeluh, pihak penjara bisa menyulitkan saya.”

Ketika Andy belum dihukum, pun sebagian warga Kanada kurang menghormati penyandang disabilitas.  

Andy cerita: ”Saya ingat, suatu kali saya (sebelum dipenjara) naik mobil bersama teman-teman. Di suatu jalan, mobil dihentikan polisi. Dan, semua penumpang disuruh keluar.”

Setelah semua penumpang di luar, perhatian polisi tertuju ke Andy. Polisi sepertinya heran, kemudian berkata membentak ke Andy:

”Hai, tunjukkan lenganmu?”

Saat itu lima polisi menodongkan pistol ke Andy. Maka, Andy bingung. Perintah polisi itu membingungkannya. Sebaliknya, polisi kian marah dan waspada ke Andy.

Akhirnya, seorang teman Andy berteriak ke polisi:

”Ia cuma punya satu tangan, Pak...”

Kemudian, para polisi itu tertawa. Andy menganggap, mereka membikin kecacatan Andy sebagai bahan tertawaan.

Padahal, jumlah napi disabilitas di sana cukup banyak. Berdasar survei departemen kehakiman di sana tahun 2016, sekitar 38 persen narapidana negara bagian dan federal adalah napi disabilitas.

Andy: ”Saya sebenarnya bisa berbuat lebih banyak, lho? Kurangnya kesempatan dan sumber daya bisa berdampak pada diri sendiri. Jika kita tidak mengasuh dan memenuhi kebutuhan orang-orang, serta mencari tahu mengapa mereka melakukan hal-hal ini, siklus ini tidak akan pernah berakhir.”

Tentang nasib Agus di dalam lapas, belum ada laporan. Biasanya, kondisi napi di dalam tidak sampai tersebar keluar. Para napi itu kan tidak mungkin main medsos untuk menyebarkan kondisi mereka.

Namun, perbaikan penanganan Polri untuk tersangka penyandang disabilitas bermanfaat mencegah penyandang disabilitas melakukan tindak pidana. Seperti halnya Agus, semula ia tidak ditahan meski alat bukti hukum sudah cukup kuat. Saat ditahan, pun ia berkoar soal tidak ada fasilitas buatnya. Kini ia tidak bisa begitu lagi.

Memang dilematis. Di satu sisi penegak hukum dituntut masyarakat agar memberikan fasilitas kepada penjahat disabilitas. Memanusiakan. Di sini lain, penjahat adalah penjahat. Harus dihukum. Sebab, merugikan masyarakat. 

Masyarakat harus berempati terhadap belasan gadis korban pemerkosaan Agus dan keluarga mereka. Masa depan belasan gadis itu hancur. Penjahat sudah tidak memanusiakan para korban. Mengapa setelah mereka dihukum, lalu menuntut dimanusiakan? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: